Salam STTL,
Wahana Silaturahmi, curhat, belajar, tukar informasi, lowongan pekerjaan, peluang bisnis, dll
Senin, 30 November 2009
Hasil Pertemuan Alumni STTL se-Jabodetabek Tanggal 21 November 2009
Salam STTL,
Kamis, 12 November 2009
HASIL RAKERNAS AMDAL 2009 Di Manado, 15-17 Juli 2009
PENYELENGGARAAN :
- Peserta dihadiri seluruh stakehoder AMDAL yang terdiri dari wakil BLH Provinsi, BLH/kantor Kab/Kota, Pemrakarsa, BKPSL, konsultan penyusun dan LSM. Jumlah peserta 400 – 450 orang
- Penyelenggaraan à selama 3 hari dari 15-17 Juli 2009 di Manado
SISTEM STANDARISASI DAN REGISTRASI KOMPETENSI PENYUSUNAN DOKUMEN AMDAL
Jum'at 6 Pebruari 2009 bertempat di kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah dilaksanakan sosialisasi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi dalam Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang telah ditetapkan pada November 2008. Peraturan tersebut akan mulai diberlakukan secara efektif pada tanggal 11 November 2009.
Undangan Pertemuan Alumni STTL Se-Jabodetabeka
Mengundang Alumni STTL se-jabodetabeka pada :
Hari / Tgl : Sabtu, 21 November 2009.
Pukul : 10.00 WIB.
Tempat : Rumah makan padang “Simpang Raya”
Jl. Raya Bogor (Pasar Induk Kramat Jati)
Acara : Membahas Program Kerja dan rencana pembentukan Badan Usaha
Kamis, 22 Oktober 2009
Rabu, 21 Oktober 2009
Selasa, 20 Oktober 2009
Senin, 22 Juni 2009
Google data center water treatment plant
For more information about the event or Google's data center efficiency efforts, please visit: http://www.google.com/corporate/green...
Waste Water Treament Plant
Wow, Burung Angsa Dari Sampah Bungkus Kopi
Minggu, 21 Juni 2009 | 21:19 WIB
CIMAHI, KOMPAS.com - Sebagian besar peminum kopi mungkin akan membuang wadahnya begitu selesai memindahkan isinya ke dalam cangkir atau gelas.
Tapi, bagi orang kreatif, bungkus kopi itu mungkin lebih berharga dibandingkan dengan isinya. Bahan yang sekilas tampak tak berguna itu bisa juga menjadi bahan untuk hasil karya berupa hiasan di rumah atau karya lain yang indah.
Itulah yang dilakukan Oom Rosliawati, warga Jalan Encep Kartawirya, Citeureup, Cimahi Utara. Di usianya yang sudah mencapai 59 tahun, ia masih terus mengembangkan karyanya dengan bahan bungkus kopi.
Namun, yang paling menarik adalah model angsa yang dipajang di rak televisi rumahnya. Model itu menghabiskan 1.827 bungkus kopi dan dikerjakan selama dua pekan.
"Angsa itu bisa mengambang di atas air karena saya beri dandang plastik di bawahnya," ujar istri dari Anang Hendi (61).
Menurut Oom, satu karya angsanya pernah dibeli istri Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf, Sandy Dede Yusuf, pada suatu pameran. Beberapa karyanya dipajang di ruang tengah rumahnya.
Saat ini Oom sedang mengerjakan topi koboi dari bungkus kopi untuk dipajang pada pameran ulang tahun Kota Cimahi, Juni mendatang.
Perempuan yang juga Ketua RT 05 Kampung Sukareja ini mengaku, karya ini berawal dari keprihatinannya saat sampah Leuwigajah tidak bisa digunakan lagi.
Oom sudah sejak kelas 6 SD suka melipat-lipat wadah bekas rokok. Setelah berhenti cukup lama, akhirnya setahun lalu, ibu tiga anak ini memulai kembali hobinya untuk melipat-lipat bungkus kopi yang sudah tidak terpakai. Bahkan, kertas koran pun dijadikan rak buku.
"Saya tidak biasa mematok harganya. Terkadang sungkan untuk membuka harga karena hanya terbuat dari bungkus kopi. Biar konsumen saja, mau beli berapa saja silakan," ujarnya.
Demi mempercepat waktu pembuatan, ia dibantu tiga ibu-ibu tetangganya. "Sebenarnya pengen buka galeri di depan rumah, tetapi saya butuh bantuan banyak ibu-ibu," jelasnya. (agung yulianto wibowo)
Sumber : TRIBUN JABAR
Mungkinkah Tanda-tanda Kiamat Itu Sudah Terlihat?
Minggu, 21 Juni 2009 | 16:49 WIB
MEDAN, KOMPAS.com - Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini membuat negara-negara di belahan dunia ini termasuk juga Indonesia sangat rentan terhadap bencana, Kelaparan, kemiskinan dan penyakit.
Kepala Bidang Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Dadang Hilman, MA mengungkapkan hal itu dalam suatu seminar di Medan, Minggu (21/6).
Mengutip sebuah laporan, ia mengatakan, Indonesia salah satu negara yang rentan terhadap bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti halnya pemanasan global.
"Di Indonesia selama periode 2003-2005 terjadi 1.429 bencana. Sekitar 53,3 persen adalah bencana terkait dengan hidro-meteorologi. Banjir adalah bencana yang sering terjadi atau sebanyak 34 persen dan diikuti bencana longsor sebanyak 16 persen," katanya.
Pada seminar Nasional Lingkungan Hidup dengan tema Pelestarian Lingkungan Dalam Upaya Mengurangi Dampak Pemanasan Global di Universitas Negeri Medan (Unimed) itu, ia mengatakan, pemanasan global ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi.
Hal tersebut sebagai akibat peristiwa efek rumah kaca yaitu terperangkapnya radiasi matahari yang seharusnya dipancarkan kembali ke angkasa luar namun tertahan oleh lapisan akumulasi Gas Rumah Kaca di atmosfer.
Berbagai tindakan aktif untuk mencegah terjadinya perubahan iklim dan mengurangi dampak pemanasan global dapat dilakukan dengan upaya penurunan emisi GRK.
Selain itu juga telah dilakukan berbagai kebijakan seperti di bidang kehutanan dengan penanggulangan illegal logging, rehabilitasi hutan dan lahan, serta konservasi, restrukturisasi sektor kehutanan, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan sebagainya.
Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2006, disebutkan bahwa kerugian global akibat perubahan iklim diperkirakan akan mencapai 4,3 triliun dolar.
"Kerugian ini akan menjadi tanggungan negara-negara berkembang dan miskin yang relatif memiliki keterbatasan adaptif akibat keterbatasan modal dan teknologi," katanya.
BNJ
Sumber : Ant
Celaka, Masyarakat Indonesia Ternyata Tidak Tahu Fungsi Hutan
Senin, 22 Juni 2009 | 11:34 WIB
JAYAPURA, KOMPAS.com — Budaya cinta lingkungan seperti menanam pohon dan membersihkan halaman harus ditanamkan kepada anak sejak usia dini agar dalam perkembangannya tidak menjadi hal yang mudah dilupakan.
Hal itu dikatakan salah seorang staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Jayapura, Yunus Paelo, di Jayapura, Senin (22/6), menanggapi banyaknya kasus pembabatan hutan yang terjadi di Papua.
"Hal ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, di sini dituntut peran dan bimbingan dari para orangtua dan guru di sekolah untuk memberikan mereka pemahaman tentang pentingnya fungsi hutan bagi kehidupan," katanya.
Yunus menambahkan, perubahan iklim global yang terjadi saat ini sudah menjadi suatu bukti konkret sebagai akibat dari rusaknya lahan dan hutan, di mana masyarakat hanya menebang pohon tanpa melakukan penanaman yang baru.
"Kalau sejak usia dini sudah berikan pemahaman dan pengetahuan seperti jika menebang pohon maka harus diimbangi dengan penanaman yang baru, ke depan diharapkan akan terwujud penghijuan," ujarnya.
Pemerintah sudah seringkali memberikan imbauan dan larangan bagi warga, terutama yang bermukim sekitar hutan dan para perambah hutan liar, agar tidak mengeksploitasi hutan secara berlebihan, tetapi yang menjadi alasan adalah masalah ekonomi.
"Di sinilah masalahnya, di mana belum ada kesadaran masyarakat Indonesia tentang fungsi hutan itu sendiri," paparnya.
Ia menuturkan, dirinya memandang perlu adanya permasalahan lingkungan yang dimasukkan mata pelajaran, seperti muatan lokal pada semua tingkat pendidikan.
"Kalau masalah ini tidak secara berkesinambungan dilaksanakan, maka dikhawatirkan hutan kita akan rusak total," tambahnya.
BNJ
Sumber : Ant
Madukismo Bayar Ganti Rugi Rp 40 Juta untuk Petani Ikan
BANTUL, KOMPAS.com — Petani ikan di Miri, Sewon, Bantul, dan petani di sekitar Miri, akhirnya mendapat ganti rugi Rp 40 juta atas kematian ikan-ikan mereka. Karena Pabrik Gula Madukismo sudah menyatakan mau memberi bantuan uang, Pemkab Bantul yang awalnya akan ikut membantu, tidak jadi membantu uang. Selasa (23/6) besok, uang itu diberikan.
Petani mengajukan Rp 94 juta, tetapi dari pemetaan petugas Dinas Kelautan, Perikanan dan Perternakan (KPP) Bantul, kerugian mereka hanya Rp 38 juta. "Angka Rp 38 juta ini kami bulatkan menjadi Rp 40 juta, persis uang bantuan yang dijanjikan Madukismo," ujar Bupati Bantul Idham Samawi, Senin (22/6). Uang kepedulian, begitu istilah bantuan uang itu. Idham menolak istilah uang ganti rugi.
Ketua Mina Mitra Usaha Budi Marsigit mengatakan, ia tak mempermasalahkan besar ganti rugi itu. "Yah mau bagaimana lagi. Kami tetap berterima kasih," ujar Budi. Awalnya, Mina Mitra Usaha mengajukan ganti rugi Rp 50 juta.
Kasus kematian ikan di Sewon ini terjadi pertengahan Juni lalu. Dari hasil uji sampel air, diketahui kolam ikan petani terkontaminasi limbah pabrik spiritus, dan juga limbah-limbah lain yang ditengarai bukan dari pabrik spiritus.
Minggu, 07 Juni 2009
Jumat, 15 Mei 2009
Temu Kangen Alumni STTL "YLH" Yogyakarta Semua Angkatan
Kawan – kawan yang saya Hormati,
Sudah lama rasanya saya secara pribadi untuk lebih mempererat tali persaudaraan kita serta untuk memperkokoh Almamater STTL “YLH” YK, yang selama ini mungkin didalam pribadi kita masing – masing secara tidak langsung kita lupa akan hal itu.
Deklarasai Kelautan Manado Disepakati 75 Negara
"Semua sepakat, semua yang hadir mengadopsi," kata Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Gellwyn Yusuf seusai pertemuan tingkat tinggi WOC di Grand Kawanua Convention Center, Manado.
Negara yang mengadopsi deklarasi itu antara lain Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Suriname, Pakistan, Grenada, Amerika Serikat, Republik Korea, Perancis, India, China, Kamboja, Angola, Filipina, dan Namibia.
Ketua Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Official Meeting/SOM) WOC Eddy Pratomo mengatakan, kesepakatan dalam deklarasi ini selanjutnya diharapkan bisa memengaruhi pembahasan global mengenai perubahan iklim, dan menjadikan dimensi laut sebagai arus utama di dalamnya.
Eddy yakin kesepakatan yang tertuang dalam Deklarasi Kelautan Manado selanjutnya akan menyatukan tujuan negara-negara peserta konferensi untuk menjadikan laut sebagai arus utama dalam setiap pembahasan dan negosiasi terkait perubahan iklim.
Namun, kata dia, kesepakatan yang dihasilkan dalam WOC baru merupakan langkah awal yang harus diikuti dengan tindak lanjut, sebelum benar-benar direalisasikan dan memberikan manfaat bagi semua, khususnya daerah kepulauan di negara-negara berkembang.
Menurut anggota delegasi dari China, Shang Zhen, deklarasi tersebut harus diikuti dengan lebih banyak kerja sama riset ilmiah untuk merumuskan strategi adaptasi yang tepat dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim terhadap laut dan sebaliknya.
Tentang mekanisme pendanaan dalam upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim terhadap laut dan sebaliknya, Zhen mengatakan, selanjutnya harus ada kejelasan tentang apa saja yang bisa dicakup oleh pendanaan, dan apa yang bisa dijual untuk itu.
Ia mengatakan, implementasi deklarasi ini masih bergantung pada pertemuan para pihak dalam United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang.
Penekanan pada Konservasi
Deklarasi Kelautan Manado terdiri atas 14 paragraf pembuka inti dan 21 poin kesepakatan operatif. Isi deklarasi antara lain berupa komitmen negara-negara peserta untuk melakukan konservasi laut jangka panjang, menerapkan manajemen pengelolaan sumber daya laut dan daerah pantai dengan pendekatan ekosistem, serta memperkuat kemitraan global untuk pembangunan berwawasan lingkungan.
Mereka juga menyepakati perlunya strategi nasional untuk pengelolaan ekosistem laut dan kawasan pantai serta penerapan pengelolaan laut dan daerah pantai secara terpadu.
Kesepakatan untuk bekerja sama dalam riset kelautan serta pertukaran informasi terkait hubungan perubahan iklim dan laut juga masuk dalam deklarasi yang dibahas sejak 11 Mei hingga 14 Mei itu.
Meski tidak dijelaskan secara rinci, tetapi deklarasi juga menitikberatkan perlunya penerapan kebijakan terpadu yang ramah lingkungan dalam pengelolaan laut dan daerah pantai dengan memperhatikan kehidupan masyarakat yang paling rentan, yakni mereka yang hidup di pesisir atau pantai.
Deklarasi juga menekankan kebutuhan dukungan finansial dan insentif untuk membantu negara-negara berkembang mewujudkan lingkungan yang baik bagi komunitas yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, serta mengundang negara-negara dalam UNFCCC untuk mempertimbangkan dan memasukkan proposal proyek adaptasi perubahan iklim di laut ke dalam Adaptation Fund Board.
Pertukaran teknologi untuk pengurangan dampak perubahan iklim terhadap laut dan sebaliknya juga ditekankan, tetapi belum ada penjelasan mengenai mekanisme transfer teknologi yang dimaksud.
Mereka yang menyepakati deklarasi juga menyatakan akan melanjutkan kerja sama pada tingkat nasional dan regional, serta selanjutnya membangun area perlindungan laut.
Mereka juga mendorong upaya Sekretaris Jenderal PBB untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi terkait masalah ini dalam sistem PBB, serta mengharapkan hasil efektif dari pertemuan para pihak (Conference of Parties/COP) UNFCCC ke-15 di Kopenhagen, Denmark, pada Desember mendatang.
WAH
Sumber : Antara
Kesepakatan Manado Dibawa ke New York dan Kopenhagen
"Ini maksimal yang dicapai, kita senang akhirnya semua yang disarankan bisa masuk ke dalam deklarasi. Tapi ini baru langkah awal, masih banyak yang harus dilakukan setelah ini," kata Ketua Pertemuan Pejabat Tinggi atau Senior Official Meeting (SOM) WOC Eddy Pratomo.
Namun, kata dia, saat ini sudah ada peta jalan yang jelas untuk menerjemahkan isi deklarasi ke dalam strategi dan kebijakan yang jelas sehingga selanjutnya bisa diterapkan dan memberikan manfaat bagi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara kepulauan yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim.
"Bulan Juni nanti akan dibahas dalam dua seri pertemuan soal kelautan di New York. Sebagai negara yang punya inisiatif mengenai hal ini, Indonesia bisa menyampaikan apa yang sudah disepakati dalam WOC," katanya.
"Kita juga sudah mengundang negara-negara pihak di UNFCCC untuk mempertimbangkan pengembangan dan pengajuan proposal proyek adaptasi perubahan iklim dalam pengelolaan laut ke Adaptation Fund Board," katanya.
Direktur Jenderal Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Arif Hafaz Oegroseno menambahkan bahwa selanjutnya deklarasi itu akan dimasukkan ke dalam sistem PBB sehingga isu laut dan perubahan iklim bisa masuk ke dalam setiap pembahasan dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan badan-badan di bawah PBB, seperti WHO, ILO, UNCLOS, dan yang lainnya.
WAH
Sumber : Antara
Selasa, 21 April 2009
Cacing Tanah, Aset Masa Depan
Sabtu, 18 April 2009 | 14:27 WIB
SHANGHAI, KOMPAS.com - Dua keluarga dari daerah Danau Dianshanhu di Kabupaten Qingpu, Shanghai, akan mengembang-biakkan cacing tanah sebagai bagian dari pilot proyek oleh satu organisasi perlindungan lingkungan hidup lokal.
Dalam kondisi yang tepat, 1 kilogram cacing tanah dapat menghabiskan sampai 1 kilogram sampah dapur setiap hari dan menghasilkan setengah kilogram limbah cacing tanah, yang dapat digunakan sebagai pupuk.
Program percobaan tersebut bertujuan mendorong peternakan cacing sebagai cara efektif mengurangi limbah dapur di kota itu.
Staf Pusat Komunikasi dan Pelestarian Ekologi Oasis Hijau Shanghai telah memelihara cacing tanah di kantor mereka selama lebih dari satu tahun. Mereka memelihara cacing tanah di dalam tempat penyimpanan plastik besar dan memberi makan hewan itu dengan kulit buah serta sisa makanan.
Staf di pusat tersebut mengatakan sistem pencernaan cacing tanah berisi bermacam jenis enzim yang mampu mengurai sampah dan bahkan menghilangkan beberapa bahan beracun, seperti logam berat.
"Tiga atau empat keluarga telah mengajukan kesediaan untuk ikut dalam proyek percobaan itu, tapi para ahli kami belum menghubungi mereka," kata seorang anggota staf yang bermarga Chen di pusat tersebut.
"Kami akan memilih dua keluarga dan percobaan mereka akan dimulai pada pertengahan Mei. Kami berharap setiap keluarga dapat memelihara cacing tanah di rumah mereka," katanya.
BNJ
Sumber : Antara
Yuyun Ismawati Peroleh "Nobel Lingkungan"
"Saya sama sekali tidak menyangka mendapat penghargaan ini. Selama ini saya melakukan apa yang menjadi perhatian khusus saya saja," kata Yuyun saat dihubungi di San Francisco dari Jakarta, Minggu (19/4) waktu Indonesia. Keenam pemenang berhak atas hadiah masing-masing 150.000 dollar AS.
"Seperti pendahulunya, para penerima Penghargaan Goldman ini amat mengesankan. Mereka berhasil menghadapi rintangan yang tampaknya tak terpecahkan," ujar pendiri Penghargaan Goldman, Richard N Goldman, seperti dikutip dari siaran pers The Goldman Environmental Prize.
LEAD Fellow
Yuyun, salah satu fellow dari Program Leadership on Environment and Development (LEAD Programme) Indonesia, adalah orang Indonesia ketiga yang menerima penghargaan ini.
Ibu dua anak itu dengan lembaga Bali Fokus melakukan solusi berbasis masyarakat untuk pengelolaan sampah yang memberi peluang kerja bagi warga berpenghasilan rendah dan memberdayakan warga untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
Bersama sejumlah aktivis, ia juga mengembangkan Indonesia Toxics-Free Network (ITFN) yang di antaranya menyoroti perhatian pemerintah yang kurang terhadap isu-isu limbah berbahaya dan beracun berikut dampak publiknya.
"Indonesia terlalu santai, padahal ada banyak hal yang patut dikhawatirkan terkait isu limbah beracun," katanya.
Pemenang lain
Lima penerima penghargaan lainnya adalah Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan).
Olga yang juga LEAD Fellow mengubah kelompok lembaga swadaya masyarakat di Eropa Timur, Kaukasus, dan Asia Tengah menjadi kekuatan potensial untuk mengidentifikasi dan memusnahkan bahan kimia beracun warisan Uni Soviet.
Marc Ona yang hidup di atas kursi roda memimpin upaya publik untuk mengungkap korupsi di balik konsesi pertambangan milik Pemerintah China yang mengancam ekosistem hutan hujan tropis di negaranya.
Maria, Bob bersama warga berjuang menentang industri batu bara yang menghancurkan puncak gunung untuk menguruk lembah. Adapun Rizwana memimpin perjuangan mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya industri pembuangan kapal.
Wanze dan Hugo adalah anggota komunitas "Maroon"—didirikan komunitas budak Afrika —yang menentang penebangan di lahan tradisional mereka. (*/MH/GSA)
Jumat, 03 April 2009
Tanggul, Pemicu, dan Audit Teknologi
KOMPAS.com - Menjelang ”pesta demokrasi” pemilu legislatif, Banten menangis, Jakarta menangis, Indonesia menangis. Hingga hari Senin (30/3) sudah 98 orang kehilangan nyawa dan 102 orang tak ketahuan nasibnya, menyusul jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang Selatan.
Bencana, kecuali gempa dan angin topan, sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. Bencana seperti longsor dan banjir selalu membawa pertanda sebelumnya. Korban menjadi banyak ketika mitigasi tidak dilakukan dalam bentuk antisipasi dan prevensi. Sebelum Jumat subuh itu, kata Situ Gintung berkonotasi rekreatif: kolam renang, lokasi berpetualang (adventure camp), dan rumah makan.
Dari kondisi permukaan itu, yang mampu menyerap air adalah tegalan, badan air (yaitu situ atau saluran irigasi), kebun, dan rumput atau tanah kosong.
Pada situ seluas 21,4 hektar tersebut hanya ada satu spillway (saluran buang) selebar kira-kira 5 meter dan dua saluran irigasi yang lebarnya sekitar 1 meter, yang menurut Sutopo saat itu tidak bekerja optimal.
Jika curah hujan besar, kecepatan aliran air melalui saluran buang akan tidak memadai sehingga ada kemungkinan terjadi limpasan (overtopping), bahasa awamnya luberan.
Menempel pada bagian luar tanggul adalah permukiman padat, mulai dari kaki tanggul, terletak di bawah tanggul sekitar 15-20 meter. Sungguh rawan karena bisa terkena longsoran tanggul. Mestinya, minimal 100 meter dari kaki tanggul tidak boleh ada bangunan. Permukiman itu mengurangi lebar saluran air dari semula 5-7 meter kini tinggal 1 meter. Kondisi ini berpotensi menambah beban air pada situ karena air tidak tersalur ke luar.
Kemungkinan penyebab
Menurut peneliti dari Pusat Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, ada tiga faktor penyebab bencana. Ketiga faktor itu adalah faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (bencana lain seperti gempa, longsor, dan hujan besar), dan faktor manusia (pembangunan sekitar tanggul, pembabatan hutan, dan sebagainya).
Di sekitar Situ Gintung sudah sejak lama tak ada hutan. Saat itu pun tak terjadi gempa. Dari data Sutopo yang didapatnya saat melakukan kajian kualitas air dan pemanfaatan air situ untuk waduk resapan 5 Desember 2008, pada bagian tanggul yang jebol Jumat lalu telah didapati erosi buluh (piping). Erosi itu diduga sudah lama terjadi karena muncul mata air di bawah tanggul. Rembesan air ke dalam kapiler retakan menyebabkan kapiler bertambah besar. Akibatnya, terjadi deformasi struktur saluran buang.
Dan, dorongan massa air menyebabkan badan tanggul longsor karena kapiler (retakan kecil) terisi air. Ketika bagian atas tanggul longsor, beban massa air berpindah ke bawah sehingga bagian dasar tanggul tergerus. Ini mengakibatkan tanggul jebol hingga sekitar 20 meter tingginya.
Setelah tanggul jebol, rembesan air di sekeliling tanggul memberi beban besar sehingga tanggul jebol semakin lebar pada 27 Maret 2009. Lapisan tanah pada Situ Gintung merupakan sedimen muda—batuan kuarter, tersier—mudah longsor. Situ dengan struktur batuan muda umumnya dibuat tanggul urukan. Selain urukan, ada tipe busur (berbentuk melengkung) dan tipe graviti-tanggul beton di sisi luar miring ke luar, di sisi dalam datar seperti dinding.
Meski beban massa air menyebabkan tanggul jebol, hujan pada Kamis, 26 Maret 2009, dari penelusuran Sutopo bukanlah faktor tunggal penyebab, melainkan hanya pemicu. Dari catatan di Stasiun Meteorologi Ciputat—terdekat dengan Situ Gintung—curah hujan 113,2 milimeter per hari, dari Stasiun Meteorologi Pondok Betung, curah hujan normal selama tiga jam disusul 1,5 jam curah hujan ekstrem 70 mm per jam!
Curah hujan 180 mm pada tahun 1996 tercatat di Stasiun Pondok Betung (Stasiun Ciputat baru dibangun tahun 2007), tanggul Situ Gintung tidak jebol. Juga saat 2007 ketika curah hujan 275-300 mm per hari di sekitar Situ Gintung, tanggul situ tetap aman. Pada dua kejadian itu, Jakarta banjir besar.
Di sisi lain, bagian saluran buang bisa dikatakan merupakan titik lemah. Analoginya adalah: seseorang yang dalam kondisi bugar tak akan mudah terinfeksi virus. Ketika kondisinya lemah akibat kurang tidur dan kelelahan, seseorang akan lebih mudah terserang penyakit.
Sutopo mencatat, secara global terdapat 78 persen bendungan jebol adalah tipe urukan, sedangkan tipe lainnya 22 persen. Adapun runtuhnya bendung di dunia, 38 persen akibat erosi buluh, 35 persen akibat peluapan air, 21 persen fondasi jebol, dan 6 persen karena longsoran dan lainnya.
Akan tetapi, untuk mengetahui secara tepat penyebab jebolnya tanggul, perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan meneliti faktor lainnya, seperti aktivitas pengerukan sedimen situ dengan ekskavator, atau hilangnya batu-batu di luar tanggul misalnya.
Belajar dengan mahal
Bencana adalah arena belajar yang amat mahal. Mestinya pihak yang bertanggung jawab langsung atas Situ Gintung melakukan tugasnya dengan tepat. Masyarakat, sesuai amanat undangundang bencana, juga harus bertanggung jawab dengan melaporkan potensi bencana, sementara pemerintah harus membuka diri pada laporan masyarakat apa pun bentuknya, tertulis atau tidak tertulis. Mengabaikan laporan masyarakat hanya menunjukkan arogansi penguasa; masyarakat Situ Gintung sudah pernah melaporkan kerusakan tanggul pada dua tahun sebelumnya.
Selain itu, lembaga penelitian seperti BPPT dan lainnya sudah seharusnya dilibatkan untuk melakukan audit teknologi demi keamanan struktur pada situ-situ. Saat ini sudah ada sejumlah teknologi ciptaan mereka sendiri yang mampu mendeteksi kelayakan teknis sebuah bendung.
Jangan lupa, masih ada 189 situ lain di Jabodetabek. Beberapa di antaranya perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan bencana. Pada akhirnya, keselamatan dan keamanan manusia semestinya diletakkan pada posisi teratas kebijakan pembangunan sehingga pada setiap pembangunan harus selalu disertakan analisis risiko.
YUN
Sumber : Kompas Cetak
Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/04/01/05011699/tanggul.pemicu.dan.audit.teknologi#
Bantar Gebang Dibenahi
Jumat, 3 April 2009 | 06:24 WIB
BEKASI, KOMPAS.com - Setelah tertunda beberapa tahun, pembangunan industri pengolahan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Bekasi, akhirnya dimulai, Kamis (2/4). Industri pengolahan itu akan mengubah sampah dari Jakarta menjadi kompos, biji plastik, dan listrik.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad meletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan industri pengolahan sampah. Pembangunan fasilitas industri pengolahan itu akan menjadikan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang sebagai yang paling modern di Indonesia.
Mochtar mengatakan, industri pengolahan yang dikelola oleh PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Energi Organik Indonesia itu mampu mengolah 4.500 ton sampah yang dikirimkan setiap hari. Sampah yang semula dikelola dengan sistem penimbunan atau sanitary land fill kini diubah menjadi produk-produk bernilai ekonomi.
”Industri ini juga memanfaatkan gas metan yang dihasilkan sampah untuk menjadi bahan bakar bagi pembangkit listrik. Gas metan dari TPST tidak lagi mencemari udara dan tidak merusak lapisan ozon,” kata Mochtar.
Pembangkit listrik di TPST Bantar Gebang mampu menghasilkan 26 megawatt listrik. Listrik itu akan dibeli oleh PLN dan masuk dalam jaringan distribusi Jabodetabek. Di sisi lain, industri pengolahan sampah tidak membutuhkan penambahan lahan secara berkala. Dengan demikian, Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu repot memikirkan perluasan kawasan untuk menampung sampah baru.
Perluasan lahan TPST sering menjadi masalah karena banyak protes dari masyarakat sekitar TPST. Lahan TPST seluas 108 hektar juga sering menjadi komoditas politik terkait dengan kompensasi.
Menguntungkan
Fauzi Bowo memuji kerja sama Pemkot Bekasi untuk mewujudkan industri pengolahan sampah modern itu. Kerja sama itu bukan hanya menguntungkan kedua pemerintah, tetapi juga warga sekitar. ”Industri pengolahan sampah ini membuka lapangan kerja bagi 1.200 warga setempat sebagai tenaga pemilah sampah,” kata Fauzi.
Pola kerja sama antardaerah semacam ini akan dikembangkan di Tangerang. Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten akan membangun industri pengolahan sampah serupa di Ciangir, Tangerang.
Jika TPST Bantar Gebang untuk menampung dan mengolah sampah di Jakarta bagian timur, industri pengolahan sampah di Ciangir akan mengolah sampah dari Jakarta bagian barat. Pemprov DKI Jakarta dan mitra swasta juga sudah membangun industri pengolahan sampah di Cakung-Cilincing, Jakarta Utara, yang mampu mengolah 1.500 ton sampah menjadi kompos atau bahan bakar padat.
Di sisi lain, kata Fauzi, Pemprov DKI Jakarta akan mencari kompensasi dari dunia internasional karena pengolahan sampah di TPST Bantar Gebang ramah lingkungan. Kompensasi dana internasional melalui mekanisme kredit karbon akan digunakan untuk menambah industri pengolahan sampah yang ramah lingkungan.
Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/04/03/06245070/Bantar.Gebang.Dibenahi.
Rabu, 01 April 2009
Botol Plastik + Sinar Matahari = Air Minum
Warga Bintaro, yang warga miskinnya kebanyakan tinggal dekat tempat pembuangan sampah di Jalan Bintaro Permai di Pesanggrahan, hanya bermodalkan botol-botol plastik bekas dan terik matahari untuk menghasilkan air, yang mereka pompa dari tanah, layak minum.
“Kami tak perlu mengeluarkan uang lagi untuk mendapatkan air minum yang bersih,” ujar Dewi, ibu rumahtangga berusia 29 tahun dengan tiga anak.
Harga satu liter minyak tanah Rp 3.000. Di sejumlah tempat di
Sejak dua bulan lalu Dewi menggunakan metode sterilisasi air yang murah dengan menjemurnya di bawah sinar matahari. Sejak itu, dia bisa menghemat uang untuk minyak tanah. Tidak seperti sebelumnya, Dewi sekarang hanya membeli enam liter minyak tanah per bulan untuk memasak. Uang yang bisa dia hemat dipakai untuk biaya sekolah putrinya yang berusia 12 tahun.
Metode tersebut, yang juga dikenal dengan proses menjemur air (solar water disinfection) atau SODIS, memungkinkan warga menghemat uang yang bisa dipakai untuk berobat. Menurut warga, anak-anak mereka jarang terkena diare. Seorang warga laki-laki percaya bahwa air hasil proses ini bisa mengobati diabetes.
“Ini sama seperti air kemasan,” ujar Mulyani, kepala desa berusia 40 tahun, yang awalnya ragu dan takut meminum air yang dia sterilkan di bawah sinar matahari.
Sebanyak 52 keluarga miskin di Bintaro Permai belajar metode hemat energi itu dari Emmanuel Foundation. Organisasi nonpemerintah ini didirikan oleh Emmanuel Laumonier, mantan mahasiswa Jakarta International School (JIS). Awalnya dia menolak terlibat dalam proyek pelayanan masyarakat. Tapi setelah bekerja di panti asuhan, dia memutuskan mencurahkan hidupnya untuk membantu sesama.
“Proses menjemur air tidaklah sulit,” ujar Mindy Weimer, mantan mahasiswa JIS yang menjadi direktur Program Air di Emmanuel Foundation. Mempromosikan akses ke air bersih hanyalah salah satu proyek lembaga ini. Organisasi ini juga menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak yatim piatu.
Untuk mendapatkan air bersih, warga harus membersihkan botol plastik yang bening, mengisinya dengan air, menutup rapat tutup botol, dan menjemurnya di bawah sinar matahari selama enam jam. Botol harus terisi penuh. Sebab, udara bisa membelokkan sinar ultraviolet dan menghalanginya untuk membunuh bakteri dalam air.
Jika botol diletakkan di atas sepotong kain hitam, air akan menyerap panas lebih cepat. Karena miskin, warga menempatkan botol-botol itu di atap gubuk mereka.
Ketika warga belajar proses SODIS ini, mereka takjub bahwa sinar matahari bisa membunuh bermacam bakteri dalam air yang menyebabkan penyakit seperti diare, tipus, kolera, dan disentri.
Salah satu masalah mereka adalah kekurangan botol-botol plastik. Sebab, mereka juga menjualnya untuk mendapatkan uang. Dewi, misalnya, hanya menggunakan tiga botol plastik, sementara keluarganya mengonsumsi sekitar empat botol air setiap hari.
“Jika kami benar-benar kehausan, kami minum air tanah secara langsung,” ujar Dewi.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, sekitar 80 persen penduduk
Kontaminasi juga disebabkan oleh pipa yang berkarat, banyak di antaranya sudah dipakai selama 80 tahun –dipasang selama masa kolonial Belanda.
Data itu juga menunjukkan, lebih dari 100 juta orang
Sanitasi yang buruk menyebabkan sekitar 100.000 anak-anak meninggal dunia karena diare setiap tahun. Penyakit ini menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian anak-anak di
Selain menerapkan metode SODIS, orang-orang di Indonesia memasak air, menggunakan sistem saringan keramik (ceramic filter system), atau membeli larutan sodium hypochlorite untuk mengatasi air yang terkontaminasi. Menurut Kementerian Kesehatan, dari semua metode penanganan air itu, memasak air paling populer. Lebih dari 90 persen penduduk melakukannya setiap hari.
Tapi, menurut Zainal Nampira, kepala subdirektorat Penyehatan Air di Kementerian Kesehatan, memasak air menyebabkan polusi udara.
“Asap dari pembakaran minyak tanah atau katu bakar menyebabkan iritasi mata dan masalah pada paru-paru,” ujar Nampira. Dia menambahkan, organisme penyebab penyakit tidak mati jika air tidak dimasak dengan benar. Untuk membuatnya aman diminum, air harus dibiarkan mendidik selama satu menit.
Meski hemat biaya, menjemur air saat ini hanya dipraktikkan oleh sedikit komunitas. Orang
Di luar
Salah satu alasan yang membuat warga enggan menggunakan metode ini adalah prosesnya lama. Selama hari-hari cerah, mereka harus menunggu selama enam jam agar air dimurnikan. Tapi jika cuaca mendung, mereka harus membiarkan botol-botol plastik itu selama dua hari.
“Kami tidak bisa mengandalkan cuaca. Terkadang hari tidak begitu cerah,” ujar Syarief, warga Tanjung Priok meratap.
Di Indonesia, musim penghujan jatuh pada bulan November dan berakhir pada bulan Maret. Tapi, warga
Alasan lainnya, orang
“Alasan lain mengapa penduduk tidak suka menjemur air adalah bahwa mereka merasa metode ini hanya untuk orang miskin,” ujar Arum Wulandari, ahli kesehatan masyarakat dari Emmanuel Foundation.
Untuk alasan kesehatan, lembaga ini tidak menganjurkan air hasil SODIS untuk konsumsi anak-anak di bawah usia dua tahun dan orang dengan HIV/AIDS. Sebab, mereka punya sistem kekebalan tubuh yang rendah. Lembaga ini juga belum melakukan riset yang cukup untuk meyakinkan bahwa proses SODIS ini efektif melawan penyakit polio.
“Menjemur air di bawah sinar matahari tidak membunuh seluruh bakteri,” ujar Wulandari. Dia menganjurkan penduduk yang menggunakan metode ini membersihkan botol-botol plastik sebelum mengisinya dengan air.
Lembaga ini menemukan sejumlah warga di Tanjung Priok memakai botol-botol plastik berkali-kali tanpa membersihkannya.
Untuk mempromosikan penggunaan metode ini, Emmanuel Foundation mendistribusikan buku-buku komik ke anak-anak sekolah, khususnya mereka yang tinggal di perkampungan miskin. “Kami percaya bahwa anak-anak bisa mempengaruhi orangtua mereka untuk mendapatkan air melalui pemurnian matahari,” ujar Mita Sirait, promotor kesehatan masyarakat dari lembaga ini.
Buku-buku komik itu menggambarkan seorang gadis sedang berlari-lari di lapangan dengan ayahnya. Setelah lelah berlari, gadis itu, Ani namanya, meminta ayahnya membeli air kemasan. Mereka meminum smapai tandas. Sang ayah akan melemparkan botol plastik yang sudah kosong itu tapi Ani mencegahnya.
“Dengan botol ini kita bisa menyulap air mentah menjadi air yang sehat untuk diminum,” kata Ani.
Setelah itu Ani menjelaskan proses membuat air sehat dengan sinar matahari dan dampak negatif minum air mentah, didasarkan apa yang dia telah pelajari dari gurunya.
“Jika kita tidak punya sikat untuk membersihkan botol plastik itu, kita bisa menggunakan batang bambu atau kayu dan mengikatkan sehelai kain pada ujungnya,” ujarnya. Kisah pun berakhir dengan keluarga Ani yang hidup bahagia dan sehat.*
Translated and edited by Budi Setiyono
*) Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS.
Sumber : http://www.pantau.or.id/inc/printberitakerjasama.php?id=82
Senin, 30 Maret 2009
Lowongan Kerja
Expiry date: April 06, 2009
• PROJECT MANAGER COAL MINING (PM)
• SAFETY MANAGER (SM)
• HRD OFFICER (Code: HR)
• PLANT SUPERVISOR (PS)
• SURVEYOR (Code: SY)
• MINE PLANNING & ENGINEERING (ME)
Job Description & Qualification:
• Reporting to Operation Manager
• This position responsible for managing a Mining Project
• Manage all aspects of mining including Production, Plant, Finance, SH&E, GA, & HR accordingly to the Project s KPIs & target
• ensure all operational aspects of mining including mine planning & other contractual issues being managed externally with Mining Owner
• Male and age max 45 years old
• Mining degree with GPA min 2.8
• 5 (five) years professional experience in similar
• Fluent in English both written and spoken
• Good attitude, honest, self-motivated, team player, leadership, strong analysis, conceptual thinking
• Have communication skill & ability to establish an effective communication internally with team and externally with Mining Owner
• Based in South Kalimantan
• SAFETY MANAGER (SM)
Job Description & Qualification:
• Reporting to Business Development Director this position will be responsible to develop and implement all aspects of safety and training, accident prevention, safety performance report, and accident and incident investigation for the mining operations
• Male and age max 35 years old
• Degree or diploma in Mining/Occupational Health and Safety/Environmental Engineering with GPA min 2.8
• Minimum 5 (five) years professional experience
• Knowledge of HSE and OHSAS 18001
• Fluent in English both written and spoken
• Good attitude, honest, self-motivated, team player, leadership, strong analysis, conceptual thinking
• Have communication skill & ability to establish an effective communication with team
• Willing to be placed at any places in Indonesia
• HRD OFFICER (Code: HR)
Qualification:
• Female and age max 30 years old
• Psychology degree with GPA min 2.8
• Minimum 2 (two) years professional experience
• Fluent in English both written and spoken
• Good attitude, honest, self-motivated, team player, leadership, strong analysis, conceptual thinking
• Have communication skill & ability to establish an effective communication with team
• Willing to be placed at any places in Indonesia
• PLANT SUPERVISOR (PS)
Job Description & Qualification:
• Reporting to Plant Superintendent
• Responsible to develop maintenance planning and schedule
• Male and age max 30 years old
• Degree in Mechanical with GPA min 2.8
• Minimum 2 (two) years professional experience
• Fluent in English both written and spoken
• Good attitude, honest, self-motivated, team player, leadership, strong analysis, conceptual thinking
• Have communication skill & ability to establish an effective communication with team
• Willing to be placed at any places in Indonesia
• SURVEYOR (Code: SY)
Qualification:
• Male and age max 35 years old
• Geodetic degree or diploma from with GPA min 2.8
• Minimum 2 (two) years professional experience
• Fluent in English both written and spoken
• Good attitude, honest, self-motivated, team player, leadership, strong analysis, conceptual thinking
• Have communication skill & ability to establish an effective communication with team
• Willing to be placed at any places in Indonesia
• MINE PLANNING & ENGINEERING (ME)
Job Description & Qualification:
• Work closely with Operation Manager & Project Manager
• Responsible to support projects with short and long term mine planning and other mining engineering aspects, set up a production standard, continuously monitor the achievement gap and analyze necessary improvement action
• Mining or Geological Engineering degree
• Minimum 2 (two) years professional experience
• Have mining operation technical skill
• Ability to analyze mine planning from Mining Owner & creating an effective mining sequence
• Ability to operate mining software
• Based in South Kalimantan
Please send your application letter completed with a comprehensive resume, recent photograph, and work reference to the address below or email to :
hrd@wbs.co.id
or
HRD PT Wira Bhumi Sejati
Jl. Gayung Sari Barat No. 9
Surabaya 60231
Sumber : http://md-jobs.blogspot.com/2009/03/pt-wira-bhumi-sejati.html
Ditemukan Spesies Mampu Hidup di Air Mendidih
NEW DELHI, KOMPAS.com — Beberapa ilmuwan India telah menemukan mikro-organisme yang disebut "extremophiles", yang dapat bertahan hidup di dalam air mendidih dan radiasi sinar ultraviolet.
Menurut laporan tabloid setempat Mail Today, para ilmuwan tersebut menemukan mikro-organisme itu pada ketinggian 40 kilometer di atas permukaan Bumi.
Penelitian dipimpin ilmuwan dari Center of Cellular and Microbiology di kota Hyderabad, India Selatan, S Shivaji. Ia telah meneliti bakteri di Antartika, Samudera Kutub Utara, dan Gletser Himalaya. "Ketiga spesies baru yang ditemukan sekarang dapat dibedakan dari semua spesies yang sejauh ini dilaporkan di dalam catatan ilmiah," kata surat kabar tersebut, yang mengutip keterangan Shivaji.
Spesies baru itu kini diisolasi. Semua spesies tersebut dikumpulkan dari ketinggian antara 20 kilometer dan 41,4 kilometer pada April 2005, tetapi temuannya baru terjadi belum lama ini. Para ilmuwan mengatakan sulit untuk meramalkan bagaimana bakteri dapat bertahan hidup di lingkungan yang rendah oksigen semacam itu.
Penelitian extremophiles menimbulkan pertanyaan mengenai kelangsungan hidup bentuk kehidupan. Itu dapat mengarah pada pengenalan lebih lanjut mengenai rangkaian baru dan menemukan beragam penerapan produk yang berlandaskan bioteknologi.
ONO
Sumber : Ant
Daur Ulang Sampah Plastik di Lhokseumawe Dilirik Perusahaan Dunia
LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com - Upaya daur ulang sampah plastik yang dilakukan Palapa Plastic Recycle Foundation, sebuah lembaga yang dibentuk masyarakat Lhokseumawe untuk mengatasi persoalan sampah plastik, kini mulai dilirik perusahaan pendaur ulang sampah plastik terbesar di dunia. Lembaga ini ditawari kesempatan mengekspor sampah plastik yang telah diolah.
Menurut Chairman Palapa Plastik Recycle Foundation (PPRF) Baharudin Sanian, yayasannya menampung berbagai sampah plastik yang dikumpulkan pemulung. Berbeda dengan agen barang bekas, yayasan ini menurut Baharudin , memberdayakan pemulung dengan cara membantu mereka mengetahui nilai ekonomis sampah plastik. Jika sebelumnya pemulung menyerahkan sampah plastik berbagai jenis dalam bentuk aslinya, yayasan membantu pemulung memisahkan berbagai jenis sampah plastik tersebut sesuai unsur kimianya masing-masing.
"Dengan cara membagi semua jenis sampah plastik menurut unsur kimianya masing-masing, secara langsung membuat harga jual sampah plastik tersebut meningkat. Dulu ketika pemulung menyerahkan sampah plastik dalam bentuk utuh dan berca mpur baur, dihargai oleh agen pengumpul hanya Rp 1000 perkilogram. Tetapi ketika sampah plastik tersebut mulai dibagi dan dikelompokan sesuai unsur kimianya, harganya meningkat berkali lipat," ujar Baharudin.
Dia mencontohkan, satu botol minuman bisa terdiri dari dua jenis sampah plastik yang berbeda, botol dan tutupnya. Ketika keduanya dipisahkan dan digabungkan dengan jenis yang sama, maka harga sampah plastik tersebut bisa lebih mahal dibanding saat pemulung menjual botol dan tutupnya tak terpisah. "Kami butuh waktu sampai dua tahun membuat pemulung tahu membedakan jenis-jenis sampah plastik," ujar Baharudin.
PPRF kini memiliki sebuah tempat penampungan dan pabrik pengolahan sampah plastik. Pabrik ini berfungsi menggiling sampah-sampah plastik yang telah dipisahkan ke dalam berbagai jenis, menjadi serpihan kecil atau plastic chips. "Kalau dijual dalam bentuk plastic chips ini, harganya lebih mahal lagi, " kata Baharudin.
PPRF menurut Baharudin sempat dibantu lembaga donor yang datang ke Lhokseumawe pascatsunami. Dari lembaga donor inilah, PPRF mendapatkan konsultasi bisnis dan dihubungkan dengan salah satu perusahaan pengolah sampah plastik terbesar di dunia yang berbasis di Hong Kong, Fukutomi.
Perwakilan Fukutomi telah datang ke Lhokseumawe dan tertarik dengan apa yang kami lakukan. Mereka meminta kami mengekspor sebesar dua kontainer sampah plastik yang telah digiling tersebut, ujar Baharudin sembari mengatakan, dalam sebulan PPRF bisa menjual 150 ton sampah plastik yang telah diolah ke pabrik pengolahan.
Namun upaya Baharudin dan PPRF mengatasi persoalan sampah plastik ini tak sepenuhnya didukung Pemerintah Kota Lhokseumawe. Mereka malah membebani PPRF agar membantu Pemkot menyediakan tempat sampah untuk berbagai jenis sampah berbeda.
"Padahal kami minta Pemkot agar mau mendidik masyarakat, membuang sampah dengan memilah jenisnya. Ini untuk membantu pemulung memungut sampah-sampah plastik, " ujar Public Outreach PPRF Surya Aslim. Surya mengatakan, upaya PPRF sebenarnya secara langsung telah membantu mengatasi persoalan sampah plastik di Lhokseumawe.
Kamis, 12 Maret 2009
2025, Dunia Hadapi Krisis Air bersih
Sabtu, 7 Maret 2009 - 14:52 wib, Stefanus Yugo Hindarto - Okezone
ISTANBUL - Ahli konservasi dunia memperkirakan dua dari tiga penduduk dunia akan kesulitan mendapatkan akses bersih pada tahun 2025. sebab itu, sebanyak 25.000 ahli konservasi akan berkumpul di Istanbul, Turki untuk membicarakan masalah kelangkaan air bersih tersebut dalam waktu dekat.Pertemuan yang digagas International Union for Conservation of Nature (IUCN) tersebut mencoba untuk menyumbangkan pikiran dan gagasan untuk mendorong pemerintah disemua negara menerapkan kebijakkan yang tepat tentang permasalahan air.
"Perubahan iklim dan permasalahan krisis air jelas menjadi pembahasan utama dalam pertemuan mendatang, selain bencana seperti badai," kata kepala IUCN, Mark Smith seperti dilansir RedOrbit, Sabtu (7/3/2009).
Menurutnya di Asia bencana itu akan sangat mengerikan. Distribusi air menjadi tidak merata dan beberapa wilayah akan sangat sulit mengakses air bersih, terutama India dan China. Tingginya jumlah penduduk juga mendorong kedua negara itu kesulitan sumber air bersih.
(srn)
Kunci Konversi Sampah ke Energi Listrik Ditemukan
Baru-baru ini hasil penelitian tim Universitas Minnesota mendapati bahwa organisme bakteri yang mampu menghasilkan listrik bisa ditingkatkan produksi energinya dengan pasokan riboflavin - yang lazimnya dikenal dengan vitamin B-2.
Bakteri penghasil listrik itu bernama Shewanella, seringnya didapati di air dan tanah.
“Bakteri ini bisa mengubah asam susu (lactic acid) menjadi listrik,” kata Daniel Bond dan Jeffrey Gralnick dari Jurusan Mikrobiologi Institut Bio-Teknologi Universitas Minnesota yang memimpin penelitian.
"Ini sangat membahagiakan buat kami, karena menuntaskan teka-teki biologi yang sangat fundamental," kata Bond.
Ia menjelaskan, "Para pakar selama sudah bertahun-tahun mengetahui bahwa Shewanella bisa menghasilkan listrik. Dan sekarang kami tahu bagaimana bakteri ini melakukannya."
Penemuan ini juga berarti bakteri Shewanella bisa memproduksi energi lebih banyak lagi bisa riboflavin ditingkatkan jumlahnya. Selain itu penelitian tim Universitas Minnesota ini juga membuka peluang bagi berbagai inovasi di bidang energi terbarukan dan pembersihan lingkungan.
Tim penelitian yang lintas-disiplin ilmu ini menunjukkan bahwa bakteri tumbuh di elektroda yang secara alamiah menghasilkan riboflavin.
Karena riboflavin sanggup membawa elektron dari sel-sel hidup ke elektroda, maka angka produksi listrik pun bisa ditingkatkan menjadi 370 persen saat riboflavin ditambah jumlahnya.
Penambahan bahan bakar mikroba ini menggunakan bakteri serupa yang bisa menghasilkan listrik untuk membersihkan limbah air.
"Bakteri bisa membantu kita menurunkan biaya pabrik pengelolaan limbah air," kata Bond.
Tapi untuk aplikasi yang lebih ambisius seperti listrik untuk transportasi rumah atau bisnis, masih kata Bond, dibutuhkan temuan ilmu biologi yang lebih mutahir dan pasokan bahan bakar sel yang lebih murah.
Lalu timbul pertanyaan, "Bagaimana bakteri ini bisa menghasilkan listrik?"
Secara alamiah, bakteri seperti Shewanella butuh mendapatkan dan melarutkan benda-benda logam seperti besi. Dengan kemampuan mengarahkan secara langsung elektron ke logam, membuat bakteri ini bisa mengubah kadar kimia dan tingkat ketersediaannya.
"Bakteri sudah sejak miliar tahun lalu mengubah kadar kimia di lingkungan hidup kita," kata Gralnick.
"Kemampuan mereka membuat besi menjadi zat yang terlarutkan adalah kunci dari proses siklus logam di lingkungan dan memainkan peran yang sangat penting buat kehidupan di Bumi," tambahnya.
Proses ini bisa berlaku terbalik untuk menghindari logam terkena kerosi, teruma buat logam-logam di kapal laut. (Ant/OL-06)
Mobil Plasma Pengolah Limbah
"Tirta Aji" berarti air berharga. Itulah label yang disematkan Heri Karnoto pada produk alkohol bikinannya. Lelaki 52 tahun itu mengelola perusahaan keluarga warisan kakeknya, Kerto Saiman, yang beroperasi sejak 1950-an. Industri alkohol rumahan di Desa Ngombaan, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu setiap bulan menghasilkan 100 liter alkohol berkadar 70% hingga 90%.
Heri memasarkan alkoholnya ke sejumlah rumah sakit dan apotek di pelbagai kota di Jawa Tengah. Ia membuat alkohol dengan bahan baku tetes tebu yang difermentasi. Lumayan rumit untuk memproduksi alkohol itu. Tetes tebu diperam selama tujuh hari dan disuling hingga tiga kali untuk memperoleh alkohol.
Setelah alkohol dihasilkan, muncul persoalan, yakni limbah dalam jumlah besar yang baunya menyengat. "Dari 100 liter produk alkohol, limbahnya mencapai enam kali lipat," kata Heri. Dulu ia membuang limbah alkoholnya ke Sungai Samin, yang terletak sekitar 50 meter di belakang rumahnya. Karena mencemari lingkungan, pemerintah melarang Heri membuang limbahnya ke sungai.
Sejak empat tahun silam, Heri harus mengangkut limbah cair itu dengan drum ke instalasi pengolahan limbah di desanya. Ada dua instalasi pengolah limbah (IPAL) di Desa Ngombaan, masing-masing berkapasitas 5 meter kubik untuk 50-an industri rumah tangga. IPAL komunal ini memang dimaksudkan untuk menjembatani persoalan limbah industri kecil di Sukoharjo.
Kini ada sekitar 20 IPAL komunal yang dibangun di sana. "Mereka tidak mungkin membangun unit pengolah limbah sendri," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, Sri Hardiman Eko Yulianto. Namun instalasi IPAL komunal itu belum cukup untuk menuntaskan pencemaran air di Sukoharjo.
Begitu pula ketika dikembangkan pengolahan limbah menjadi biogas. "Tidak semua limbah bisa diolah," ujar Sri Hardiman. Sebab jumlah industri kecil di Sukoharjo mencapai 14.807 perusahaan. "Jadi, perlu terobosan untuk mengatasi persoalan limbah ini," ia menegaskan.
Titik terang datang pada saat Hardiman mengunjungi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam rangka Pekan Lingkungan Hidup, Juni 2006. Dia tertarik pada temuan Anto Tri Sugiarto, berupa pengolahan limbah dengan teknologi plasma yang hemat biaya dan minim tempat. Setelah memperoleh cerita tentang kendala limbah yang dihadapi Sukoharjo, Anto pun menyiapkan konsep IPAL keliling.
Hardiman memesan IPAL mobile kepada PT Pasadena Engineering Indonesia, perusahaan yang ditunjuk Anto Tri Sugiarto sebagai pemegang hak paten IPAL teknologi plasma di Japan Office Patent No. 4111858. "Pembuatannya membutuhkan waktu 90 hari," tutur Anto. Pada 7 Januari lalu, dua unit IPAL pun diluncurkan di Kabupaten Sukoharjo.
Ada tiga bagian utama pada mesin pengolah limbah ini. Yang utama adalah tabung oksidasi, kemudian tabung koagulasi sedimen, dan tabung filter. Air limbah yang disedot menggunakan pompa masuk ke tabung oksidasi. Di tabung ini, limbah organik dioksidasi menjadi gas, sehingga semua limbah organik terurai menjadi gas.
Sedangkan zat anorganik, semacam zat besi, masuk tabung koagulasi sedimen yang di dalamnya terdapat aluminium sulfat atau tawas. Zat-zat itu mengendap ketika masuk tabung sedimen. Sedangkan airnya mengalir ke tabung filtrasi berupa karbon filter, sehingga segala polutan terserap. Air yang keluar berupa air bersih. "Jernihnya melebihi air mineral," kata Anto.
IPAL keliling itu, menurut Hardiman, memang diperlukan Sukoharjo. Sebab banyak industri kecil dan menengah yang belum memiliki instalasi pengolah limbah yang representatif. "Adanya mesin itu setidaknya bisa jadi solusi, terutama dalam mengendalikan pencemaran air yang selama ini banyak terjadi," katanya.
Alat itu sekarang memang belum beroperasi, kata Hardiman, karena memang masih dalam tahap sosialisasi. Selain itu, dia berencana melakukan modifikasi ulang. IPAL yang ada berupa seperangkat alat dalam boks beroda dua. Untuk menjalankannya, alat ini ditarik dengan mobil. Ini dipandang kurang gesit beroperasi di lapangan. "Ke depan bakal menyatu dengan mobil, seperti mobil boks," ujar Hardiman.
Sebagai tahap perkenalan, menurut Hardiman, akan diberikan layanan gratis sesuai dengan permintaan. Untuk selanjutnya dimungkinkan ada retribusi yang mesti ditanggung kalangan industri sebagai pengganti biaya operasional. "Tidak besar, anggap saja ganti bensin," katanya. Untuk itu, perlu dikeluarkan peraturan bupati sebagai dasar penarikan retribusi.
IPAL keliling di Sukoharjo merupakan yang pertama di Indonesia. Teknologi plasma ini diteliti Anto Tri Sugiarto ketika kuliah di Jepang pada 1998. Pada saat kembali ke Indonesia, lima tahun kemudian, ia menerapkannya dalam bentuk prototipe. Baru pada 2005 diciptakan mesin pengolah limbah teknologi plasma untuk perusahaan-perusahaan besar. "Tapi itu tidak bergerak, seperti IPAL tradisional," kata Anto.
Kelebihannya, dengan model ciptaannya, instalasi tidak membutuhkan lahan yang luas. Tidak ada limbah sebagaimana IPAL tradisional. Anto memang menciptakan IPAL mobile didasarkan atas kebutuhan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Ia mendapat informasi bahwa di Sukoharjo banyak industri menengah dan kecil. Industri semacam ini biasanya tidak memiliki unit pengolah limbah sendiri. Sebab lahan mereka sempit untuk membangun pengolah limbah tradisional.
Selain itu, duperlukan biaya besar. Padahal, limbah yang dihasilkan tergolong sedikit. "IPAL mobile ini cocok untuk kondisi semacam itu," katanya. Tak lama berselang setelah di Sukoharjo, Anto membuat IPAL mobile sejenis pesanan sebuah perusahaan elektronik di Kudus, dengan kapasitas 3 meter kubik, yang dimodifikasi dengan truk.
Menurut Anto, IPAL mobile dengan teknologi plasma di Sukoharjo mampu mengolah semua jenis limbah organik. Misalnya limbah rumah tangga, rumah sakit, hotel, pabrik, dan perusahaan tekstil. "Yang tidak bisa cuma untuk industri logam karena itu limbah anorganik," kata Anto pula.
Selain tidak menghasilkan limbah, menurut Anto, hasil akhirnya berupa air bersih siap saji setara dengan produksi air mineral. Teknologi plasma yang diterapkan pada IPAL ciptaannya mampu bekerja dan menetralkan bakteri serta membasmi zat kimia berbahaya. Selain ramah lingkungan, IPAL ini pun tergolong murah biaya operasionalnya. "Satu meter kubik limbah hanya membutuhkan daya listrik 300 watt atau sama dengan rice cooker," ujarnya.
Rohmat Haryadi dan Syamsul Hidayat
[Lingkungan, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 5 Februari 2009]
UPT Balai Litbang Biomaterial - LIPI Unit Pelaksana Teknis Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pengolahan Limbah Cangkang Udang
Data Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa areal tambak udang nasional pada tahun 2003 seluas 478.847 hektar (ha) dengan volume produksi 191.723 ton atau 400 kilogram (kg) per hektar.
Untuk tahun 2004 ditargetkan usaha itu pada areal 328.425 ha dengan produksi 226.553 ton atau 690 kg per hektar. Setahun berikutnya pada areal seluas 397.398 ha dengan produksi 251.599 ton atau hanya 660 kg per hektar. Tahun 2006 seluas 480.850 ha dan 281.901 ton.
Tahun 2007 seluas 581.825 ha dan 318.565 ton, tahun 2008 seluas 704.013 ha dengan produksi 362.935 ton atau 510 kg per ha, serta tahun 2009 luas areal budidaya udang mencapai 851.852 ha serta volume produksi yang ditargetkan sebanyak 416.616 ton.
Sebagian besar udang yang dibudidayakan adalah jenis udang windu. Namun, pada dekade terakhir ini banyak yang mulai beralih ke jenis udang lain, yaitu udang vannamei (vannamei booming). Sebab, dari hasil penelitian, jenis ini lebih tahan dari serangan penyakit white spot yang banyak menyerang udang jenis lain, seperti udang windu.
Di Indonesia saat ini ada sekitar 170 pengolahan udang dengan kapasitas produksi terpasang sekitar 500.000 ton per tahun. Dari proses pembekuan udang (cold storage) dalam bentuk udang beku headless atau peeled untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang jadi limbah (bagian kulit dan kepala).
Diperkirakan, dari proses pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan dihasilkan limbah sebesar 325.000 ton per tahun. Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sebab limbah tersebut dapat meningkatkan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand. Sedangkan selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk campuran pakan ternak saja, seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.
Kitin dan khitosan merupakan bahan dasar dalam bidang biokimia, enzimologi, obat-obatan, pertanian, pangan gizi, mikrobiologi, pertanian, industri membran (film), tekstil, kosmetik, dan lain sebagainya. Di luar negeri, teknologi pengolahan limbah cangkang udang ini sudah sangat maju sehingga mereka mampu menghasilkan produk khitosan dengan berbagai variasi dan kegunaan.
Cangkang udang jenis udang windu mengandung zat kitin sekitar 99,1 persen (paling besar dari jenis udang lainnya). Dengan teknologi sederhana dan bahan-bahan yang cukup murah, serta mudah didapatkan di dalam negeri, dalam proses pengolahan limbah cangkang udang tersebut akan dihasilkan kitin dan khitosan yang cukup berkualitas.
Adapun teknologi pengolahan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
Demineralisasi. Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering, kemudian dicuci dalam air panas dua kali lalu direbus selama 10 menit. Tiriskan dan keringkan. Bahan yang sudah kering lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh.
Kemudian dicampur asam klorida 1 N (HCl 1 N) dengan perbandingan 10 : 1 untuk pelarut dibandingkan dengan kulit udang, lalu diaduk merata sekitar 1 jam. Biarkan sebentar, kemudian panaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.
Deproteinasi. Limbah udang yang telah dimineralisasi dicampur dengan larutan sodium hidroksida 3,5 persen (NaOH 3,5 persen) dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6 : 1. Aduk sampai merata sekitar 1 jam. Selanjutnya biarkan sebentar, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.
Deasetilisasi kitin menjadi khitosan. Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (NaOH) 50 persen dengan perbandingan 20 : 1 (pelarut dibanding kitin). Aduk sampai merata selama 1 jam dan biarkan sekitar 30 menit, lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir dari khitosan bisa berbentuk serbuk maupun serpihan.
Untuk ekstrasi kitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen, sedangkan rendemen khitosan dari kitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu, dengan mengekstrak limbah cangkang udang dengan mengacu pada kapasitas produksi terpasang udang nasional sekitar 500.000 ton per tahun yang masih bisa ditingkatkan dari seluruh unit pengolahan udang yang tersebar di Indonesia yang mampu menghasilkan limbah sebanyak 325.000 ton per tahun, maka akan diperoleh kitin sekitar 65.000 ton per tahun yang apabila diproses lagi akan diperoleh khitosan sekitar 52.000 ton per tahun.
Dari sisi ekonomi, pemanfaatan kitin maupun khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan utama dan bahan pendukung dalam berbagai bidang dan industri sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (local content).
–
Penulis: Kurnia Wiji Prasetiyo, S.Hut., Staff Peneliti di UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Artikel ini juga terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.