Tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, yang jebol, Jumat (27/3) subuh. Jebolnya tanggul tersebut mengakibatkan banjir bandang yang menyebabkan puluhan orang tewas dan ratusan rumah rusak.
Rabu, 1 April 2009 | 05:01 WIBKOMPAS.com - Menjelang ”pesta demokrasi” pemilu legislatif, Banten menangis, Jakarta menangis, Indonesia menangis. Hingga hari Senin (30/3) sudah 98 orang kehilangan nyawa dan 102 orang tak ketahuan nasibnya, menyusul jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang Selatan.
Bencana, kecuali gempa dan angin topan, sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. Bencana seperti longsor dan banjir selalu membawa pertanda sebelumnya. Korban menjadi banyak ketika mitigasi tidak dilakukan dalam bentuk antisipasi dan prevensi. Sebelum Jumat subuh itu, kata Situ Gintung berkonotasi rekreatif: kolam renang, lokasi berpetualang (adventure camp), dan rumah makan.
Situ tersebut memiliki daerah tangkapan air seluas 112,5 hektar; dari kawasan itulah situ mendapat suplai air di samping mata air asli. Kondisi permukaannya, seperti diungkapkan Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, kini berupa permukiman (39,7 persen), tegalan (22,8 persen), badan air (17 persen), kebun (18 persen), rumput atau tanah kosong (4,5 persen), dan gedung (0,6 persen).
Dari kondisi permukaan itu, yang mampu menyerap air adalah tegalan, badan air (yaitu situ atau saluran irigasi), kebun, dan rumput atau tanah kosong.
Pada situ seluas 21,4 hektar tersebut hanya ada satu spillway (saluran buang) selebar kira-kira 5 meter dan dua saluran irigasi yang lebarnya sekitar 1 meter, yang menurut Sutopo saat itu tidak bekerja optimal.
Jika curah hujan besar, kecepatan aliran air melalui saluran buang akan tidak memadai sehingga ada kemungkinan terjadi limpasan (overtopping), bahasa awamnya luberan.
Menempel pada bagian luar tanggul adalah permukiman padat, mulai dari kaki tanggul, terletak di bawah tanggul sekitar 15-20 meter. Sungguh rawan karena bisa terkena longsoran tanggul. Mestinya, minimal 100 meter dari kaki tanggul tidak boleh ada bangunan. Permukiman itu mengurangi lebar saluran air dari semula 5-7 meter kini tinggal 1 meter. Kondisi ini berpotensi menambah beban air pada situ karena air tidak tersalur ke luar.
Kemungkinan penyebab
Menurut peneliti dari Pusat Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, ada tiga faktor penyebab bencana. Ketiga faktor itu adalah faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (bencana lain seperti gempa, longsor, dan hujan besar), dan faktor manusia (pembangunan sekitar tanggul, pembabatan hutan, dan sebagainya).
Di sekitar Situ Gintung sudah sejak lama tak ada hutan. Saat itu pun tak terjadi gempa. Dari data Sutopo yang didapatnya saat melakukan kajian kualitas air dan pemanfaatan air situ untuk waduk resapan 5 Desember 2008, pada bagian tanggul yang jebol Jumat lalu telah didapati erosi buluh (piping). Erosi itu diduga sudah lama terjadi karena muncul mata air di bawah tanggul. Rembesan air ke dalam kapiler retakan menyebabkan kapiler bertambah besar. Akibatnya, terjadi deformasi struktur saluran buang.
Dan, dorongan massa air menyebabkan badan tanggul longsor karena kapiler (retakan kecil) terisi air. Ketika bagian atas tanggul longsor, beban massa air berpindah ke bawah sehingga bagian dasar tanggul tergerus. Ini mengakibatkan tanggul jebol hingga sekitar 20 meter tingginya.
Setelah tanggul jebol, rembesan air di sekeliling tanggul memberi beban besar sehingga tanggul jebol semakin lebar pada 27 Maret 2009. Lapisan tanah pada Situ Gintung merupakan sedimen muda—batuan kuarter, tersier—mudah longsor. Situ dengan struktur batuan muda umumnya dibuat tanggul urukan. Selain urukan, ada tipe busur (berbentuk melengkung) dan tipe graviti-tanggul beton di sisi luar miring ke luar, di sisi dalam datar seperti dinding.
Meski beban massa air menyebabkan tanggul jebol, hujan pada Kamis, 26 Maret 2009, dari penelusuran Sutopo bukanlah faktor tunggal penyebab, melainkan hanya pemicu. Dari catatan di Stasiun Meteorologi Ciputat—terdekat dengan Situ Gintung—curah hujan 113,2 milimeter per hari, dari Stasiun Meteorologi Pondok Betung, curah hujan normal selama tiga jam disusul 1,5 jam curah hujan ekstrem 70 mm per jam!
Curah hujan 180 mm pada tahun 1996 tercatat di Stasiun Pondok Betung (Stasiun Ciputat baru dibangun tahun 2007), tanggul Situ Gintung tidak jebol. Juga saat 2007 ketika curah hujan 275-300 mm per hari di sekitar Situ Gintung, tanggul situ tetap aman. Pada dua kejadian itu, Jakarta banjir besar.
Di sisi lain, bagian saluran buang bisa dikatakan merupakan titik lemah. Analoginya adalah: seseorang yang dalam kondisi bugar tak akan mudah terinfeksi virus. Ketika kondisinya lemah akibat kurang tidur dan kelelahan, seseorang akan lebih mudah terserang penyakit.
Sutopo mencatat, secara global terdapat 78 persen bendungan jebol adalah tipe urukan, sedangkan tipe lainnya 22 persen. Adapun runtuhnya bendung di dunia, 38 persen akibat erosi buluh, 35 persen akibat peluapan air, 21 persen fondasi jebol, dan 6 persen karena longsoran dan lainnya.
Akan tetapi, untuk mengetahui secara tepat penyebab jebolnya tanggul, perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan meneliti faktor lainnya, seperti aktivitas pengerukan sedimen situ dengan ekskavator, atau hilangnya batu-batu di luar tanggul misalnya.
Belajar dengan mahal
Bencana adalah arena belajar yang amat mahal. Mestinya pihak yang bertanggung jawab langsung atas Situ Gintung melakukan tugasnya dengan tepat. Masyarakat, sesuai amanat undangundang bencana, juga harus bertanggung jawab dengan melaporkan potensi bencana, sementara pemerintah harus membuka diri pada laporan masyarakat apa pun bentuknya, tertulis atau tidak tertulis. Mengabaikan laporan masyarakat hanya menunjukkan arogansi penguasa; masyarakat Situ Gintung sudah pernah melaporkan kerusakan tanggul pada dua tahun sebelumnya.
Selain itu, lembaga penelitian seperti BPPT dan lainnya sudah seharusnya dilibatkan untuk melakukan audit teknologi demi keamanan struktur pada situ-situ. Saat ini sudah ada sejumlah teknologi ciptaan mereka sendiri yang mampu mendeteksi kelayakan teknis sebuah bendung.
Jangan lupa, masih ada 189 situ lain di Jabodetabek. Beberapa di antaranya perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan bencana. Pada akhirnya, keselamatan dan keamanan manusia semestinya diletakkan pada posisi teratas kebijakan pembangunan sehingga pada setiap pembangunan harus selalu disertakan analisis risiko.
YUN
Sumber : Kompas Cetak
Dari kondisi permukaan itu, yang mampu menyerap air adalah tegalan, badan air (yaitu situ atau saluran irigasi), kebun, dan rumput atau tanah kosong.
Pada situ seluas 21,4 hektar tersebut hanya ada satu spillway (saluran buang) selebar kira-kira 5 meter dan dua saluran irigasi yang lebarnya sekitar 1 meter, yang menurut Sutopo saat itu tidak bekerja optimal.
Jika curah hujan besar, kecepatan aliran air melalui saluran buang akan tidak memadai sehingga ada kemungkinan terjadi limpasan (overtopping), bahasa awamnya luberan.
Menempel pada bagian luar tanggul adalah permukiman padat, mulai dari kaki tanggul, terletak di bawah tanggul sekitar 15-20 meter. Sungguh rawan karena bisa terkena longsoran tanggul. Mestinya, minimal 100 meter dari kaki tanggul tidak boleh ada bangunan. Permukiman itu mengurangi lebar saluran air dari semula 5-7 meter kini tinggal 1 meter. Kondisi ini berpotensi menambah beban air pada situ karena air tidak tersalur ke luar.
Kemungkinan penyebab
Menurut peneliti dari Pusat Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, ada tiga faktor penyebab bencana. Ketiga faktor itu adalah faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (bencana lain seperti gempa, longsor, dan hujan besar), dan faktor manusia (pembangunan sekitar tanggul, pembabatan hutan, dan sebagainya).
Di sekitar Situ Gintung sudah sejak lama tak ada hutan. Saat itu pun tak terjadi gempa. Dari data Sutopo yang didapatnya saat melakukan kajian kualitas air dan pemanfaatan air situ untuk waduk resapan 5 Desember 2008, pada bagian tanggul yang jebol Jumat lalu telah didapati erosi buluh (piping). Erosi itu diduga sudah lama terjadi karena muncul mata air di bawah tanggul. Rembesan air ke dalam kapiler retakan menyebabkan kapiler bertambah besar. Akibatnya, terjadi deformasi struktur saluran buang.
Dan, dorongan massa air menyebabkan badan tanggul longsor karena kapiler (retakan kecil) terisi air. Ketika bagian atas tanggul longsor, beban massa air berpindah ke bawah sehingga bagian dasar tanggul tergerus. Ini mengakibatkan tanggul jebol hingga sekitar 20 meter tingginya.
Setelah tanggul jebol, rembesan air di sekeliling tanggul memberi beban besar sehingga tanggul jebol semakin lebar pada 27 Maret 2009. Lapisan tanah pada Situ Gintung merupakan sedimen muda—batuan kuarter, tersier—mudah longsor. Situ dengan struktur batuan muda umumnya dibuat tanggul urukan. Selain urukan, ada tipe busur (berbentuk melengkung) dan tipe graviti-tanggul beton di sisi luar miring ke luar, di sisi dalam datar seperti dinding.
Meski beban massa air menyebabkan tanggul jebol, hujan pada Kamis, 26 Maret 2009, dari penelusuran Sutopo bukanlah faktor tunggal penyebab, melainkan hanya pemicu. Dari catatan di Stasiun Meteorologi Ciputat—terdekat dengan Situ Gintung—curah hujan 113,2 milimeter per hari, dari Stasiun Meteorologi Pondok Betung, curah hujan normal selama tiga jam disusul 1,5 jam curah hujan ekstrem 70 mm per jam!
Curah hujan 180 mm pada tahun 1996 tercatat di Stasiun Pondok Betung (Stasiun Ciputat baru dibangun tahun 2007), tanggul Situ Gintung tidak jebol. Juga saat 2007 ketika curah hujan 275-300 mm per hari di sekitar Situ Gintung, tanggul situ tetap aman. Pada dua kejadian itu, Jakarta banjir besar.
Di sisi lain, bagian saluran buang bisa dikatakan merupakan titik lemah. Analoginya adalah: seseorang yang dalam kondisi bugar tak akan mudah terinfeksi virus. Ketika kondisinya lemah akibat kurang tidur dan kelelahan, seseorang akan lebih mudah terserang penyakit.
Sutopo mencatat, secara global terdapat 78 persen bendungan jebol adalah tipe urukan, sedangkan tipe lainnya 22 persen. Adapun runtuhnya bendung di dunia, 38 persen akibat erosi buluh, 35 persen akibat peluapan air, 21 persen fondasi jebol, dan 6 persen karena longsoran dan lainnya.
Akan tetapi, untuk mengetahui secara tepat penyebab jebolnya tanggul, perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan meneliti faktor lainnya, seperti aktivitas pengerukan sedimen situ dengan ekskavator, atau hilangnya batu-batu di luar tanggul misalnya.
Belajar dengan mahal
Bencana adalah arena belajar yang amat mahal. Mestinya pihak yang bertanggung jawab langsung atas Situ Gintung melakukan tugasnya dengan tepat. Masyarakat, sesuai amanat undangundang bencana, juga harus bertanggung jawab dengan melaporkan potensi bencana, sementara pemerintah harus membuka diri pada laporan masyarakat apa pun bentuknya, tertulis atau tidak tertulis. Mengabaikan laporan masyarakat hanya menunjukkan arogansi penguasa; masyarakat Situ Gintung sudah pernah melaporkan kerusakan tanggul pada dua tahun sebelumnya.
Selain itu, lembaga penelitian seperti BPPT dan lainnya sudah seharusnya dilibatkan untuk melakukan audit teknologi demi keamanan struktur pada situ-situ. Saat ini sudah ada sejumlah teknologi ciptaan mereka sendiri yang mampu mendeteksi kelayakan teknis sebuah bendung.
Jangan lupa, masih ada 189 situ lain di Jabodetabek. Beberapa di antaranya perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan bencana. Pada akhirnya, keselamatan dan keamanan manusia semestinya diletakkan pada posisi teratas kebijakan pembangunan sehingga pada setiap pembangunan harus selalu disertakan analisis risiko.
YUN
Sumber : Kompas Cetak
Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/04/01/05011699/tanggul.pemicu.dan.audit.teknologi#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar