Senin, 20 April 2009 | 16:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Aktivis lingkungan dari Denpasar, Bali, Yuyun Ismawati, bersama lima aktivis yang bekerja di akar rumput dari Amerika Serikat, Gabon, Banglades, Rusia, dan Paramaribo terpilih sebagai penerima Penghargaan Lingkungan Goldman 2009, semacam Nobel di bidang lingkungan. Anugerah khusus itu diserahkan di San Francisco Opera House, AS, hari Senin (20/4) pukul 17.00 waktu setempat."Saya sama sekali tidak menyangka mendapat penghargaan ini. Selama ini saya melakukan apa yang menjadi perhatian khusus saya saja," kata Yuyun saat dihubungi di San Francisco dari Jakarta, Minggu (19/4) waktu Indonesia. Keenam pemenang berhak atas hadiah masing-masing 150.000 dollar AS.
"Seperti pendahulunya, para penerima Penghargaan Goldman ini amat mengesankan. Mereka berhasil menghadapi rintangan yang tampaknya tak terpecahkan," ujar pendiri Penghargaan Goldman, Richard N Goldman, seperti dikutip dari siaran pers The Goldman Environmental Prize.
Penghargaan ini memasuki tahun ke-20 yang diberikan setiap tahun kepada para pejuang lingkungan di tingkat akar rumput. Sejak dimulai tahun 1989, penghargaan ini sudah diberikan kepada 133 aktivis dari 75 negara.
LEAD Fellow
Yuyun, salah satu fellow dari Program Leadership on Environment and Development (LEAD Programme) Indonesia, adalah orang Indonesia ketiga yang menerima penghargaan ini.
Ibu dua anak itu dengan lembaga Bali Fokus melakukan solusi berbasis masyarakat untuk pengelolaan sampah yang memberi peluang kerja bagi warga berpenghasilan rendah dan memberdayakan warga untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
Bersama sejumlah aktivis, ia juga mengembangkan Indonesia Toxics-Free Network (ITFN) yang di antaranya menyoroti perhatian pemerintah yang kurang terhadap isu-isu limbah berbahaya dan beracun berikut dampak publiknya.
"Indonesia terlalu santai, padahal ada banyak hal yang patut dikhawatirkan terkait isu limbah beracun," katanya.
Pemenang lain
Lima penerima penghargaan lainnya adalah Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan).
Olga yang juga LEAD Fellow mengubah kelompok lembaga swadaya masyarakat di Eropa Timur, Kaukasus, dan Asia Tengah menjadi kekuatan potensial untuk mengidentifikasi dan memusnahkan bahan kimia beracun warisan Uni Soviet.
Marc Ona yang hidup di atas kursi roda memimpin upaya publik untuk mengungkap korupsi di balik konsesi pertambangan milik Pemerintah China yang mengancam ekosistem hutan hujan tropis di negaranya.
Maria, Bob bersama warga berjuang menentang industri batu bara yang menghancurkan puncak gunung untuk menguruk lembah. Adapun Rizwana memimpin perjuangan mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya industri pembuangan kapal.
Wanze dan Hugo adalah anggota komunitas "Maroon"—didirikan komunitas budak Afrika —yang menentang penebangan di lahan tradisional mereka. (*/MH/GSA)
LEAD Fellow
Yuyun, salah satu fellow dari Program Leadership on Environment and Development (LEAD Programme) Indonesia, adalah orang Indonesia ketiga yang menerima penghargaan ini.
Ibu dua anak itu dengan lembaga Bali Fokus melakukan solusi berbasis masyarakat untuk pengelolaan sampah yang memberi peluang kerja bagi warga berpenghasilan rendah dan memberdayakan warga untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
Bersama sejumlah aktivis, ia juga mengembangkan Indonesia Toxics-Free Network (ITFN) yang di antaranya menyoroti perhatian pemerintah yang kurang terhadap isu-isu limbah berbahaya dan beracun berikut dampak publiknya.
"Indonesia terlalu santai, padahal ada banyak hal yang patut dikhawatirkan terkait isu limbah beracun," katanya.
Pemenang lain
Lima penerima penghargaan lainnya adalah Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan).
Olga yang juga LEAD Fellow mengubah kelompok lembaga swadaya masyarakat di Eropa Timur, Kaukasus, dan Asia Tengah menjadi kekuatan potensial untuk mengidentifikasi dan memusnahkan bahan kimia beracun warisan Uni Soviet.
Marc Ona yang hidup di atas kursi roda memimpin upaya publik untuk mengungkap korupsi di balik konsesi pertambangan milik Pemerintah China yang mengancam ekosistem hutan hujan tropis di negaranya.
Maria, Bob bersama warga berjuang menentang industri batu bara yang menghancurkan puncak gunung untuk menguruk lembah. Adapun Rizwana memimpin perjuangan mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya industri pembuangan kapal.
Wanze dan Hugo adalah anggota komunitas "Maroon"—didirikan komunitas budak Afrika —yang menentang penebangan di lahan tradisional mereka. (*/MH/GSA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar