"Tirta Aji" berarti air berharga. Itulah label yang disematkan Heri Karnoto pada produk alkohol bikinannya. Lelaki 52 tahun itu mengelola perusahaan keluarga warisan kakeknya, Kerto Saiman, yang beroperasi sejak 1950-an. Industri alkohol rumahan di Desa Ngombaan, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu setiap bulan menghasilkan 100 liter alkohol berkadar 70% hingga 90%.
Heri memasarkan alkoholnya ke sejumlah rumah sakit dan apotek di pelbagai kota di Jawa Tengah. Ia membuat alkohol dengan bahan baku tetes tebu yang difermentasi. Lumayan rumit untuk memproduksi alkohol itu. Tetes tebu diperam selama tujuh hari dan disuling hingga tiga kali untuk memperoleh alkohol.
Setelah alkohol dihasilkan, muncul persoalan, yakni limbah dalam jumlah besar yang baunya menyengat. "Dari 100 liter produk alkohol, limbahnya mencapai enam kali lipat," kata Heri. Dulu ia membuang limbah alkoholnya ke Sungai Samin, yang terletak sekitar 50 meter di belakang rumahnya. Karena mencemari lingkungan, pemerintah melarang Heri membuang limbahnya ke sungai.
Sejak empat tahun silam, Heri harus mengangkut limbah cair itu dengan drum ke instalasi pengolahan limbah di desanya. Ada dua instalasi pengolah limbah (IPAL) di Desa Ngombaan, masing-masing berkapasitas 5 meter kubik untuk 50-an industri rumah tangga. IPAL komunal ini memang dimaksudkan untuk menjembatani persoalan limbah industri kecil di Sukoharjo.
Kini ada sekitar 20 IPAL komunal yang dibangun di sana. "Mereka tidak mungkin membangun unit pengolah limbah sendri," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, Sri Hardiman Eko Yulianto. Namun instalasi IPAL komunal itu belum cukup untuk menuntaskan pencemaran air di Sukoharjo.
Begitu pula ketika dikembangkan pengolahan limbah menjadi biogas. "Tidak semua limbah bisa diolah," ujar Sri Hardiman. Sebab jumlah industri kecil di Sukoharjo mencapai 14.807 perusahaan. "Jadi, perlu terobosan untuk mengatasi persoalan limbah ini," ia menegaskan.
Titik terang datang pada saat Hardiman mengunjungi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam rangka Pekan Lingkungan Hidup, Juni 2006. Dia tertarik pada temuan Anto Tri Sugiarto, berupa pengolahan limbah dengan teknologi plasma yang hemat biaya dan minim tempat. Setelah memperoleh cerita tentang kendala limbah yang dihadapi Sukoharjo, Anto pun menyiapkan konsep IPAL keliling.
"Saya langsung menyatakan berminat," kata Hardiman. Meskipun, ia harus merogoh kocek lebih dalam, karena satu unit IPAL keliling membutuhkan dana Rp 450 juta. Hardiman kemudian menyurati Menteri Lingkungan Hidup, 11 April 2008, minta izin menggunakan dana alokasi khusus (DAK) untuk pengadaan unit pengolah limbah keliling itu. Menteri Lingkungn Hidup menyetujui sebagian DAK, Rp 856 juta, untuk pengadaan IPAL keliling tersebut.
Hardiman memesan IPAL mobile kepada PT Pasadena Engineering Indonesia, perusahaan yang ditunjuk Anto Tri Sugiarto sebagai pemegang hak paten IPAL teknologi plasma di Japan Office Patent No. 4111858. "Pembuatannya membutuhkan waktu 90 hari," tutur Anto. Pada 7 Januari lalu, dua unit IPAL pun diluncurkan di Kabupaten Sukoharjo.
Ada tiga bagian utama pada mesin pengolah limbah ini. Yang utama adalah tabung oksidasi, kemudian tabung koagulasi sedimen, dan tabung filter. Air limbah yang disedot menggunakan pompa masuk ke tabung oksidasi. Di tabung ini, limbah organik dioksidasi menjadi gas, sehingga semua limbah organik terurai menjadi gas.
Sedangkan zat anorganik, semacam zat besi, masuk tabung koagulasi sedimen yang di dalamnya terdapat aluminium sulfat atau tawas. Zat-zat itu mengendap ketika masuk tabung sedimen. Sedangkan airnya mengalir ke tabung filtrasi berupa karbon filter, sehingga segala polutan terserap. Air yang keluar berupa air bersih. "Jernihnya melebihi air mineral," kata Anto.
IPAL keliling itu, menurut Hardiman, memang diperlukan Sukoharjo. Sebab banyak industri kecil dan menengah yang belum memiliki instalasi pengolah limbah yang representatif. "Adanya mesin itu setidaknya bisa jadi solusi, terutama dalam mengendalikan pencemaran air yang selama ini banyak terjadi," katanya.
Alat itu sekarang memang belum beroperasi, kata Hardiman, karena memang masih dalam tahap sosialisasi. Selain itu, dia berencana melakukan modifikasi ulang. IPAL yang ada berupa seperangkat alat dalam boks beroda dua. Untuk menjalankannya, alat ini ditarik dengan mobil. Ini dipandang kurang gesit beroperasi di lapangan. "Ke depan bakal menyatu dengan mobil, seperti mobil boks," ujar Hardiman.
Sebagai tahap perkenalan, menurut Hardiman, akan diberikan layanan gratis sesuai dengan permintaan. Untuk selanjutnya dimungkinkan ada retribusi yang mesti ditanggung kalangan industri sebagai pengganti biaya operasional. "Tidak besar, anggap saja ganti bensin," katanya. Untuk itu, perlu dikeluarkan peraturan bupati sebagai dasar penarikan retribusi.
IPAL keliling di Sukoharjo merupakan yang pertama di Indonesia. Teknologi plasma ini diteliti Anto Tri Sugiarto ketika kuliah di Jepang pada 1998. Pada saat kembali ke Indonesia, lima tahun kemudian, ia menerapkannya dalam bentuk prototipe. Baru pada 2005 diciptakan mesin pengolah limbah teknologi plasma untuk perusahaan-perusahaan besar. "Tapi itu tidak bergerak, seperti IPAL tradisional," kata Anto.
Kelebihannya, dengan model ciptaannya, instalasi tidak membutuhkan lahan yang luas. Tidak ada limbah sebagaimana IPAL tradisional. Anto memang menciptakan IPAL mobile didasarkan atas kebutuhan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Ia mendapat informasi bahwa di Sukoharjo banyak industri menengah dan kecil. Industri semacam ini biasanya tidak memiliki unit pengolah limbah sendiri. Sebab lahan mereka sempit untuk membangun pengolah limbah tradisional.
Selain itu, duperlukan biaya besar. Padahal, limbah yang dihasilkan tergolong sedikit. "IPAL mobile ini cocok untuk kondisi semacam itu," katanya. Tak lama berselang setelah di Sukoharjo, Anto membuat IPAL mobile sejenis pesanan sebuah perusahaan elektronik di Kudus, dengan kapasitas 3 meter kubik, yang dimodifikasi dengan truk.
Menurut Anto, IPAL mobile dengan teknologi plasma di Sukoharjo mampu mengolah semua jenis limbah organik. Misalnya limbah rumah tangga, rumah sakit, hotel, pabrik, dan perusahaan tekstil. "Yang tidak bisa cuma untuk industri logam karena itu limbah anorganik," kata Anto pula.
Selain tidak menghasilkan limbah, menurut Anto, hasil akhirnya berupa air bersih siap saji setara dengan produksi air mineral. Teknologi plasma yang diterapkan pada IPAL ciptaannya mampu bekerja dan menetralkan bakteri serta membasmi zat kimia berbahaya. Selain ramah lingkungan, IPAL ini pun tergolong murah biaya operasionalnya. "Satu meter kubik limbah hanya membutuhkan daya listrik 300 watt atau sama dengan rice cooker," ujarnya.
Rohmat Haryadi dan Syamsul Hidayat
[Lingkungan, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 5 Februari 2009]
Hardiman memesan IPAL mobile kepada PT Pasadena Engineering Indonesia, perusahaan yang ditunjuk Anto Tri Sugiarto sebagai pemegang hak paten IPAL teknologi plasma di Japan Office Patent No. 4111858. "Pembuatannya membutuhkan waktu 90 hari," tutur Anto. Pada 7 Januari lalu, dua unit IPAL pun diluncurkan di Kabupaten Sukoharjo.
Ada tiga bagian utama pada mesin pengolah limbah ini. Yang utama adalah tabung oksidasi, kemudian tabung koagulasi sedimen, dan tabung filter. Air limbah yang disedot menggunakan pompa masuk ke tabung oksidasi. Di tabung ini, limbah organik dioksidasi menjadi gas, sehingga semua limbah organik terurai menjadi gas.
Sedangkan zat anorganik, semacam zat besi, masuk tabung koagulasi sedimen yang di dalamnya terdapat aluminium sulfat atau tawas. Zat-zat itu mengendap ketika masuk tabung sedimen. Sedangkan airnya mengalir ke tabung filtrasi berupa karbon filter, sehingga segala polutan terserap. Air yang keluar berupa air bersih. "Jernihnya melebihi air mineral," kata Anto.
IPAL keliling itu, menurut Hardiman, memang diperlukan Sukoharjo. Sebab banyak industri kecil dan menengah yang belum memiliki instalasi pengolah limbah yang representatif. "Adanya mesin itu setidaknya bisa jadi solusi, terutama dalam mengendalikan pencemaran air yang selama ini banyak terjadi," katanya.
Alat itu sekarang memang belum beroperasi, kata Hardiman, karena memang masih dalam tahap sosialisasi. Selain itu, dia berencana melakukan modifikasi ulang. IPAL yang ada berupa seperangkat alat dalam boks beroda dua. Untuk menjalankannya, alat ini ditarik dengan mobil. Ini dipandang kurang gesit beroperasi di lapangan. "Ke depan bakal menyatu dengan mobil, seperti mobil boks," ujar Hardiman.
Sebagai tahap perkenalan, menurut Hardiman, akan diberikan layanan gratis sesuai dengan permintaan. Untuk selanjutnya dimungkinkan ada retribusi yang mesti ditanggung kalangan industri sebagai pengganti biaya operasional. "Tidak besar, anggap saja ganti bensin," katanya. Untuk itu, perlu dikeluarkan peraturan bupati sebagai dasar penarikan retribusi.
IPAL keliling di Sukoharjo merupakan yang pertama di Indonesia. Teknologi plasma ini diteliti Anto Tri Sugiarto ketika kuliah di Jepang pada 1998. Pada saat kembali ke Indonesia, lima tahun kemudian, ia menerapkannya dalam bentuk prototipe. Baru pada 2005 diciptakan mesin pengolah limbah teknologi plasma untuk perusahaan-perusahaan besar. "Tapi itu tidak bergerak, seperti IPAL tradisional," kata Anto.
Kelebihannya, dengan model ciptaannya, instalasi tidak membutuhkan lahan yang luas. Tidak ada limbah sebagaimana IPAL tradisional. Anto memang menciptakan IPAL mobile didasarkan atas kebutuhan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Ia mendapat informasi bahwa di Sukoharjo banyak industri menengah dan kecil. Industri semacam ini biasanya tidak memiliki unit pengolah limbah sendiri. Sebab lahan mereka sempit untuk membangun pengolah limbah tradisional.
Selain itu, duperlukan biaya besar. Padahal, limbah yang dihasilkan tergolong sedikit. "IPAL mobile ini cocok untuk kondisi semacam itu," katanya. Tak lama berselang setelah di Sukoharjo, Anto membuat IPAL mobile sejenis pesanan sebuah perusahaan elektronik di Kudus, dengan kapasitas 3 meter kubik, yang dimodifikasi dengan truk.
Menurut Anto, IPAL mobile dengan teknologi plasma di Sukoharjo mampu mengolah semua jenis limbah organik. Misalnya limbah rumah tangga, rumah sakit, hotel, pabrik, dan perusahaan tekstil. "Yang tidak bisa cuma untuk industri logam karena itu limbah anorganik," kata Anto pula.
Selain tidak menghasilkan limbah, menurut Anto, hasil akhirnya berupa air bersih siap saji setara dengan produksi air mineral. Teknologi plasma yang diterapkan pada IPAL ciptaannya mampu bekerja dan menetralkan bakteri serta membasmi zat kimia berbahaya. Selain ramah lingkungan, IPAL ini pun tergolong murah biaya operasionalnya. "Satu meter kubik limbah hanya membutuhkan daya listrik 300 watt atau sama dengan rice cooker," ujarnya.
Rohmat Haryadi dan Syamsul Hidayat
[Lingkungan, Gatra Nomor 13 Beredar Kamis, 5 Februari 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar