Mulai tahun 2010 kita berharap penerapan sanksi lingkungan akan semakin tegas. Hal ini tecermin pada 19 pasal tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009: tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Sebelumnya pada UU No 23/1887, hanya ada 3 pasal soal amdal.
Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau environmental impact assessment (EIA) awalnya diintroduksi di Amerika Serikat (1969) melalui National Environmental Policy Act. UNEP (1972) mengadopsi EIA. Lalu, OECD memublikasi Guidelines for EIA (1979), dan Masyarakat Eropa (1985) mengeluarkan Directive on EIA. Bank Dunia (1989) diikuti Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Afrika pun mengharuskan EIA. Penegasan EIA sebagai instrumen pengelolaan lingkungan dikuatkan pada Principle 17 Rio Declaration pada tahun 1992.
Implementasi terbatas
Amdal di Indonesia diperkenalkan pada UU No 4/1982 tentang Lingkungan Hidup, penjabarannya melalui PP No 29/1986. Pada periode ini, implementasinya masih terbatas, hanya dikenal amdal proyek tunggal. Pendekatannya sektoral dengan 16 komisi amdal pusat. PP No 51/1993 mengintroduksi amdal terpadu, kawasan, dan regional; serta Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL UPL) untuk kegiatan yang tidak berdampak negatif penting.
Pengembangan selanjutnya ada pada PP No 27/1999. Redesentralisasi dengan dibentuknya sekitar 119 komisi amdal kabupaten/kota dan sentralisasi dengan hanya ada satu komisi amdal pusat di Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Untuk membuat amdal ditetapkan, harus ada pelibatan masyarakat dan keterbukaan informasi amdal (Keputusan Bapedal No 8/2000).
Kelemahan amdal
Seiring waktu, amdal telah bermetamorfosis 3 kali, tetapi wajahnya masih karut-marut. Tulisan ”Amdal Masuk Laci” muncul di Kompas (7 Juli 2009). Tak jarang amdal dijadikan instrumen retribusi! Presentasi dokumen amdal di daerah tertentu terkadang dipatok dengan harga fantastis! Pejabat daerah kalau diundang ke Jakarta untuk menghadiri presentasi terkadang minta hotel dan fasilitas mewah. Walaupun segelintir, hal itu jelas membebani pengusaha yang ingin taat lingkungan.
Amdal belum diapresiasi secara merata oleh kalangan industri. Badan usaha milik negara pun masih ada yang sama sekali tak punya dokumen lingkungan. Amdal akhirnya jatuh sebagai syarat administrasi belaka, terutama dengan tidak diimplementasikannya Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan.
Kompetensi tak merata
Buruknya kualitas amdal juga terkait dengan tidak meratanya kompetensi penyusun amdal; belum adanya organisasi profesi amdal, yang mewadahi pengembangan profesi; serta tidak adanya sistem registrasi terhadap konsultan penyusun amdal. Tak aneh, konsultan yang kompetensi intinya bukan lingkungan, juga latah menyusun amdal! Tidak adanya lisensi komisi penilai amdal juga mengakibatkan kapabilitas komisi dalam menilai amdal juga diragukan. Terkadang di kabupaten/kota tertentu, penunjukan otoritas pengelola lingkungan lebih condong ditentukan oleh kedekatan emosional, bukan kompetensinya di bidang lingkungan.
Pihak KLH melansir 70-80 persen amdal yang dinilai komisi di kabupaten/kota berkualitas buruk hingga sangat buruk.
Penguatan amdal
Sejak 2004 KLH mencanangkan program Revitalisasi Amdal, untuk membenahi konsultan lingkungan, tenaga ahli amdal, komisi amdal, dan pemrakarsa amdal. Komisi amdal kabupaten/kota wajib beranggotakan 3 orang yang bersertifikat amdal penilai, 2 orang bersertifikat amdal penyusun, ada tenaga ahli, ada anggota dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), ada kerja sama dengan laboratorium terakreditasi (Permen LH No 05 dan 06/2008), dan agar komisi diisi orang lingkungan. Diharapkan tak akan ada lagi amdal yang melanggar tata ruang justru disahkan layak lingkungan. Setiap personal penyusunan amdal yang telah bersertifikat amdal wajib mengikuti ujian kompetensi (Permen LH No 11/2008) yang dilaksanakan oleh Lembaga sertifikasi kompetensi.
Konsultan penyusun amdal harus mendaftar ke KLH, berbadan hukum, memiliki tenaga ahli tetap yang berkualifikasi ketua tim 2 orang, dan memiliki panduan mutu. Tidak seperti sekarang ini, tenaga ahli konsultan amdal bisa outsourcing sepenuhnya atau malah hanya pinjam nama. Lembaga pelatihan penyusun amdal harus registrasi ke KLH (Permen LH No 11/2008 dan No 06/2009). Kurikulum pelatihan harus mengacu Kepmen LH No 178/2004 agar multidisiplin amdal terwadahi. Laboratorium lingkungan terakreditasi harus registrasi. Adapun metode pelingkupan dan prakiraan dampak kualitas udara telah dibakukan pula.
Setiap pengusaha tanpa izin lingkungan, penyusun dokumen amdal tidak bersertifikat kompetensi, dan pejabat penerbit izin lingkungan tanpa dokumen amdal, dapat dibui hingga 3 tahun dan denda hingga Rp 3 miliar (Pasal 109, 110, 111; UU No 32/2009). Kelak, mulai 3 Oktober 2010, kita berharap menyaksikan kinerja amdal yang makin baik dan penerapan sanksi yang tegas sehingga bunyi sanksi itu tak hanya jadi macan kertas!
Dimuat juga di http://csr-bisnis.blogspot.com berjudul Amdal Vs Sanksi Bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar