JAKARTA, RABU - Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), mengaku masih kesulitan untuk mendapatkan data jumlah sampah elektronik (e-waste) yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3), baik domestik maupun kiriman dari luar negeri."Seminar KLH tahun 2006 yang membahas limbah elektronik belum juga bisa mengeluarkan berapa sebenarnya angka e-waste di Indonesia," kata Asisten Deputi (Asdep) urusan B3 dan Limbah B3 KLH, Emma Rahmawati, di Jakarta, Rabu (7/5). Ia berpendapat, kesulitan KLH mendata limbah elektronik banyak diakibatkan faktor perdagangan ilegal dan sebaran pengepul e-waste yang sangat beragam di seluruh Indonesia.Meski masih "remang-remang", Emma dapat memperkirakan besarnya limbah elektronik di Indonesia akan terus meningkat setiap tahunnya, setidaknya dari industri telepon seluler. Di Indonesia setidaknya terdapat 100 juta telepon seluler, dan muatan perangkat elektronik itu antara lain tembaga dan bahan-bahan yang masuk dalam kategori B3.Sementara itu menurut data UNEP 2005, tiap tahunnya e-waste yang diproduksi di seluruh dunia mencapai 20-50 juta ton. Ratusan ribu komputer usang dan HP rusak dibuang begitu saja di tanah lapang, sebagian lain juga dibakar di insenerator, atau diproses ulang di pabrik tembaga.
Dari data para produsen barang elektronik, didapati bahwa angka daur ulang oleh mereka sangatlah rendah. Para produsen perangkat keras komputer (PC) hanya melakukan 8,8-12,4 persen daur ulang. Sedangkan tingkat daur ulang produsen HP lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 2-3 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar