Jumat, 26 Maret 2010

KEMBALIKAN HAK PUBLIK ATAS AIR

Catatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2010

Masyarakat internasional telah menetapkan tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia. Momentum tersebut tentu memiliki makna penting, sebab disatu sisi dapat mengingatkan semua pihak bahwa air sangat vital bagi kelangsungan kehidupan di bumi, dan  pada sisi yang lain, air bisa menjadi sumber ancaman yang serius bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kelangkaan serta degradasi kualitas air yang terjadi akibat degradasi lingkungan hidup memang bisa memicu munculnya berbagai bencana, seperti kelangkaan pangan, mewabahnya aneka macam penyakit, dan sebagainya. Sementara pada saat bersamaan, juga terjadi  banjir, rob, tanah longsor, dan sebagainya yang menjadi indikasi kegagalan manusia dalam mengelola air secara bijak.
Saat ini, permasalahan tersebut  sudah kerap terjadi di Indonesia.  Kelangkaan air saat  air hujan berkurang, sering melanda  di beberapa wilayah di tanah air. Sedangkan saat musim hujan, peningkatan air justru membawa petaka dengan munculnya banjir di kawasan yang dulu tidak pernah mengalami kebanjiran seperti kawasan Palangkaraya dan Samarinda.

Sementara akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan masyarakat yang tinggal di sejumlah kota besar pinggir pantai seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, kini menghadapi ancaman intrusi air laut, yang masuk hingga ke dalam sumur-sumur penduduk. Kelangkaan air ini tentu bisa jadi memunculkan pertentangan di kalangan masyarakat yang dapat memicu pertikaian warga.

Risiko ini semakin besar jika distribusi air tidak dilakukan dengan baik. Masalah alam yang terlihat sederhana dapat menimbulkan petaka bila tidak ditangani dengan cermat. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, maka masalah pencemaran air paling mungkin terjadi. Pengalaman naiknya derajat keasaman pada musim kemarau dan diikuti munculnya hujan asam menyebabkan terganggunya binatang air tawar dan percepatan korosi.

Hak Publik
Sedemikian vitalnya fungsi air bagi kehidupan manusia, maka sejak awal, hak atas air ditempatkan setara dengan hak asasi manusia. Pengakuan atas hak-hak dasar tersebut tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang menyatakan "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ". Dengan demikian, negara bertanggung jawab menjamin penyediaan air yang  bagi setiap individu warga negara.  Adanya hak  publik atas air, juga telah diakui pada tingkat internasional karena telah ditegaskan  dalam ECOSOC DECLARATION (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002.

Tapi di Indonesia, hak publik atas air tersebut, kini sedang terancam oleh adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air. Pers memberitakan, puluhan sumber air di kawasan Kabupaten Sukabumi misalnya, sudah dikuasai oleh swasta. Sementara penduduk setempat mulai terganggu oleh kelangkaan persediaan air bersih.

Jika ditelusuri, kebijakan privatisasi dan komersialisasi air yang kini berlaku di Indonesia, sebenarnya merupakan bagian dari agenda kapitalis internasional. Sebab kebijakan tersebut lahir karena didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (World Bank, ADB, dan IMF). Kebijakan ini, tidak hanya berlaku bagi Indonesia tapi juga di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman.

Karena itu dalam kebijakan tersebut terdapat  kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Jadi masalah, Indonesia langsung merespon permintaan tersebut dengan senang hati.  Ini tercermin dari terbitnya   Undang-undang Sumber Daya Air yang disahkan pada  19 Februari 2004, sebagai  bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank.

Mekanisme Pasar
Beberapa pasal dalam UU tersebut memang membuka peluang  privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Implikasi dari kebijakan privatisasi ini, maka  jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak akhirnya  ditentukan oleh swasta  dengan mekanisme pasar.

Air yang sejatinya memiliki fungsi sosial kini telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Dalam pengelolaan  air paradigma yang dikembangkan oleh World Bank memang bertumpu pada prinsip komodifikasi semua sektor, termasuk yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bagi World Bank, manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai "komoditas ekonomis" dan " partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan".   (World Bank, 1992).  Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta.

Mengenai “harga air” di Indonesia, menurut World Bank, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah "harga pasar. " Karena itu perlu dinaikkan.  Baik World Bank dan ADB dalam "Kebijakan Air"-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery.  Artinya,  konsumen  harus membayar harga yang mencakup semua biaya yang dikeluarkan.  Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. 

Celakanya, yang paling menderita dampak kebijakan privatisasi justru kelompok masyarakat miskin. Dengan kenaikan tarif tersebut, mereka kian kehilangan akses terhadap air. Dalam jangka panjangm kebijakan tersebut juga mengancam “kedaulatan rakyat” atas pangan. Sebab jika  air, sebagaimana yang diinginkan oleh World Bank dan ADB, diperlakukan sebagai komoditas ekonomis dan pihak yang mendapatkan air ditentukan atas dasar keuntungan ekonomis semata, maka  ke depan hal sama juga diberlakukan di semua sektor, termasuk sektor pertanian.

Kalangan aktivis yang menolak privatisasi air telah berulangkali memaparkan akan adanya bahaya dari kebijakan tersebut. Salah satu yang jadi sorotan mereka adalah, kebijakan  Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 2002 yang dalam  Peraturan Daerah (Perda) mengenai Irigasi yang baru, telah mengadopsi  penerapan "cost recovery"  kepada petani atas penggunaan air irigasi. Sektor pertanian akan semakin mahal bagi petani dengan diterapkannya tarif atas air irigasi.

Kembalikan Hak Publik
Untuk menopang privatisasi air, kini penjualan air kemasan kian ditingkatkan, terutama sebagai solusi atas terjadinya  penurunan kualitas air. Ketergantungan masyarakat  terhadap swasta tentu kian menguat. Realitas ini sangat ironis karena penguasaan publik atas air  pada dasarnya merupakan harkat dari semua kehidupan dan manusia sangat membutuhkan air untuk hidup.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Sebagaimana air dan bumi seisinya dikuasai negara, maka pihak yang terkait dengan pengelolaan dan penyediaan air negara seyogyanya memperhatikan masalah air. Diperlukan profesionalisme dan kedewasaan dalam pengelolaan air untuk mendukung pembangunan di Indonesia yang berkelanjutan.  Namun lebih penting dari semua itu adalah pengelolaan air seyogyanya dikembalikan pada jalur yang tepat sesuai amanat UUD 1945, yang tegas menjamin hak-hak publik atas air. (LS2LP) Sumber: Suara Akar Rumput Edisi 105

Oleh:
PAULUS LONDO
Pemerhati Sosial pada LS2LP (Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan)

Tidak ada komentar: