Sabtu, 27 Maret 2010

BUKA INFORMASI LINGKUNGAN UNTUK HINDARI BENCANA


Ratusan jiwa melayang saat terjadi tragedi Situ Gintung beberapa tahun silam. 
Ini disebabkan oleh minimnya akses informasi lingkungan bagi masyarakat setempat


UU No. 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Mulai 30 April mendatang, semua badan publik wajib membuka akses informasi kepada publik. Ini adalah amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya: UU-KIP) yang mulai berlaku tanggal 30 April 2010. Pemberlakukan UU-KIP tersebut tentu menimbulkan berbagai konsekuensi hukum. Baik bagi badan-badan publik sebagai sumber informasi maupun bagi publik selaku pengguna informasi.

Dengan demikian, tak ada alasan apa pun bagi badan publik membatasi akses publik memperoleh informasi, terutama mengenai kebijakan-kebijakan yang berdampak bagi kehidupan publik, atau hajat hidup orang banyak.  Pada Pasal  64  ayat (1) UU-KIP ditegaskan bahwa dua tahun setelah diundangkan, undang-undang ini dinyatakan berlaku. Dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa  penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, Petunjuk Teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana pelaksanaan undang-undang ini  harus rampung paling lambat 2(dua)  tahun sejak undang-undang ini diundangkan. 
Informasi publik memang merupakan hak publik, dan karenanya mesti dibuka kepada publik. Artinya, masyarakat diberi kemudahan untuk mendapatkan informasi yang lengkap, utuh dan akurat terutama berkaitan dengan kebijakan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat luas. Dengan akses informasi yang lengkap, utuh dan akurat, diharapkan dapat mendorong partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan kenegaraan, sehingga kualitas demokrasi di negeri ini kian meningkat.

Di sisi lain, dengan adanya UU-KIP, pengelolaan informasi publik memiliki rambu-rambu yang pasti, sekaligus menegaskan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat di dalamnya.

UU-KIP memang hal baru dalam kehidupan bernegara. Karena itu, semua pihak mesti berbenah diri. Jika selama ini banyak Badan Publik tidak terbuka, atau membatasi akses publik terhadap informasi yang seharusnya diketahui publik atau masyarakat maka dengan berlakunya UU tersebut, badan-badan tersebut bakal berhadapan dengan hukum. Sebab, informasi hak dasar masyarakat dilindungi hukum.

Sebaliknya, bagi  Badan Publik yang memberikan informasi tentu juga memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum. Selama ini, badan-badan publik, atau instansi pemerintahan pada level tengah memang kerap menghadapi dilema, dan serbah salah. Terlalu terbuka kepada publik, bisa dipersalahkan oleh atasan. Di pihak lain, menutup-nutupi informasi yang memiliki implikasi bagi kehidupan publik, bisa diprotes masyarakat, bahkan bisa memancing unjuk rasa.

Informasi Lingkungan Hidup
Salah satu informasi publik yang patut diketahui khalayak jelas adalah informasi tentang lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya penting untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), akuntabel dan transparan, sebagai prasyarat terciptanya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan, tapi lebih penting dari itu adalah untuk menyelamatkan manusia dari ancaman bencana.  

Pada skala internasional, sebenarnya keterbukaan informasi telah diakui sebagai salah satu prinsip yang bersifat mutlak dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berbasis tata kelola lingkungan yang baik  (Good Sustainable Development Governance GSDG).

Terjadinya degradasi lingkungan yang luar biasa di Indonesia adalah akibat pola salah urus pembangunan selama ini. Dan itu diperparaha oleh terbatasnya akes publik terhadap informasi lingkungan. Bencana ekologi yang terjadi selama ini,  hendaknya tidak lagi dilihat sebagai akibat aktivitas alam, tetapi akibat ulah manusia yang bisa saja terjadi karena tidak memperoleh informasi lingkungan hidup yang benar, akurat dan lengkap.

Karena itu, jika selama ini  konsep pembangunan berkelanjutan diyakini sebagai suatu prinsip yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan menjamin masa depan kehidupan manusia, maka penerapan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi sangat penting.  Selama ini aktualisasi dari  prinsip-prinsip tersebut secara efektif memang belum mampu menjawab permasalahan tingginya laju degradasi lingkungan. Karenanya negara selaku pelaku mesti  bertanggungjawab atas terjadinya bencana ekologi yang kian massif.

Sesungguhnya, Kementerian Lingkungan Hidup telah berulangkali mengingatkan akan pentingnya keterbukaan informasi bagi publik, terkait dengan meningkatnya bencana lingkungan di tanah air. Karena itu, beberapa tahun silam, Kementerian Lingkungan Hidup bersama  Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL) menerbikan buku berjudul “Menutup Akses, Menuai Bencana, Potret Pemenuhan Akses Informasi, Partisipasi dan Keadilan  dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Indonesia,”  untuk menjelaskan kepada seluruh masyarakat bahwa keterbukaan merupakan hal yang amat mendasar dalam mengatasi permasalahan lingkungan dewasa ini.

Pada peluncuran buku tersebut, 28 Pebruari 2008 di Jakarta Rino Subagyo SH, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), menjelaskan ada 3(tiga) akses merupakan prasyarat penting yang harus diberikan oleh negara dalam pengambilan  kebijakan pembangunan, khususnya yang berdampak kepada lingkungan dan masyarakat rentan. Tiga akses itu adalah:
a.    Akses informasi (access to information) adalah hak setiap orang untuk memperoleh  informasi yang utuh (full) akurat   (accurate) dan mutakhir (up to date). 
b.    Akses partisipasi dalam pengambilan keputusan (access to participation in decision making)  adalah pilar demokrasi yang  menekankan  pada jaminan hak  untuk berpartisipasi  dalam proses pengambilan keputusan. 
c.    Akses keadilan (access to justice) adalah akses untuk memperkuat kedua akses tadi.

Menurut Rino Subayo tiga akses itu telah diakui dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio hasil KTT Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro. Sayangnya, temuan di lapangan menunjukkan indikasi belum terpenuhinya akses-akses yang dibutuhkan masyarakat tersebut. Padahal terlihat jelas adanya keterkaitan antara persoalan lingkungan dan bencana ekologi selama ini dengan  tidak terpenuhinya akses masyarakat terhadap informasi,  partisipasi dan tidak terpenuhinya akses keadilan masyarakat atas lingkungan, hidup yang sehat. 

Masalahnya, meski konstitusi sudah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, untuk menyediakan peluang berpartisipasi dan mendapatkan keadilan, namun peraturan perundang-undangan dibawahnya belum jelas dan tegas mengatur ketiga hal tersebut. Selain itu juga masih terdapat kendala bagi masyarakat  dalam mengakses informasi lingkungan dari pemerintah, yang terkait perizinan, AMDAL dan informasi yang terkait kondisi pentaan dan penegakan hukum lingkungan suatu perusahaan.

Tidak adanya informasi lingkungan yang memadai seperti inilah yang  mengakibatkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut perlindungan lingkungan dan keselamatan dirinya. 

Demikian pula belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan penjatuhan sanksi bagi pejabat publik yang tidak memberikan akses informasi dan partisipasi pada masyarakat dalam hal ini jelas ditunjukan dengan tidak adanya satupun klaim atas gugatan masyarakat akibat adanya penolakan informasi dan partisipasi.

Jika menyimak materi UU-KIP, terlihat besarnya semangat untuk membuka ketiga akses tersebut, melalui keterbukaan informasi publik. Karena itu, UU tersebut memberikan perspektif baru yang positif dalam pengelolaan masalah lingkungan hidup. Sebagai sesuatu yang baru implementasi UU-KIP tentu masih perlu penyempurnaan agar kian efektif berfungsi.

Keterkait dengan itu, maka ada baiknya jika dalam penyempurnaan tersebut perlu memperhatikan kembali beberapa rekomendasi yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan ICEL yakni antara lain, mempertegas dan memperjelas aturan hukum terkait pemenuhan hak akses informasi, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk mendapatkan keadilan, melakukan pembaruan kebijakan yang fokus pada upaya  yang menjembatani kesenjangan antara jaminan hukum dengan praktek pelaksanaannya dilapangan. 

Selain itu Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah perlu melakukan penilaian dan pengawasan terhadap kinerjanya sendiri dengan menggunakan indikator yang obyektif dan terukur sementara kelompok-kelompok kepentingan masyarakat, khususnya media masa dan Ornop memiliki peran yang penting dalam mendorong dan memfasilitasi pemenuhan tiga akses tersebut. Paulus Londo.
Sumber:
Suara Akar Rumput Edisi 105
Tanggal 24-29 Maret 2010

Tidak ada komentar: