Selasa, 13 April 2010

600 Tahun Silam, Ulama Mendaur Ulang Jelaga untuk Tinta



BOGOR, KOMPAS.com — Sebanyak 250 ulama dari 14 negara menghadiri Konferensi Internasional I Aksi Umat Islam untuk Perubahan Iklim di Kota Bogor, Jumat (9/4/2010) hingga Sabtu (10/4/2010).

Mereka memantapkan akar-akar teologis soal kepedulian Islam terhadap lingkungan hidup. Mahmoud Akef, pendiri Earth Mate Dialog Center yang berbasis di London, Inggris, mengatakan, masalah lingkungan hidup banyak dibahas dalam Al Quran. Begitu juga dalam keseharian Nabi Muhammad, beliau banyak berbicara tentang perlunya menjaga lingkungan.

Ia mencontohkan tindakan para ulama 600 tahun silam di Masjid Solaimania di Istambul, Turki. Pada saat itu, prinsip mendaur ulang pun sudah dikenal. Mereka, yang saat itu menggunakan penerangan dari minyak/lilin, menangkap asap hitamnya sehingga tidak mengotori udara. "Jelaga yang terkumpul didaur ulang menjadi tinta," katanya.

Emil Salim, anggota Dewan Penasehat Presiden RI, seusai menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut, bercerita mengenai penyebab merosotnya peradaban Islam.

"Masalah ini (turunnya peradaban Islam) banyak terori. Salah satunya akibat buku-buku yang ditulis cendekia muslim dibakar saat Istambul diserbu (Mongol) pada abad ke-7. Setelah buku-buku habis, yang lebih berkembang masalah fikih Islam, cenderung menekankan pengajaran apa saja yang dilarang. Misalnya, umat Islam tidak boleh membunuh, tidak boleh ini, tidak boleh itu," katanya.

Menurut dia, hal itu berlanjut hingga kini, termasuk di Indonesia. Misalnya dalam menyikapi soal pornografi. "Penggunaan kata bernada larangan atau negatif itu cenderung mengukung pemikiran. Karena itu, Al Quran jangan hanya dibaca, tetapi juga dipelajari dan dipahami," katanya.

Menurut dia, ajaran tentang shalat harus menghadap kiblat melahirkan ilmu astronomi. Adapun ajaran soal Allah menciptakan manusia dari segumpal darah melahirkan ilmu kedokteran.

Mengenai perubahan iklim, mantan Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Soeharto itu menuding bahwa masalah itu adalah akibat dari kesalahan kebijakan pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi, memelihara lingkungan tidak dimasukkan dalam biaya produksi. "Akibatnya, keharusan ada analisis dampak lingkungan dan pengolahan limbah tidak dilakukan dengan baik, bahkan diabaikan karena dianggap hanya membebani ongkos produksi," katanya.

Laporan wartawan KOMPAS Ratih P Sudarsono
Jumat, 9 April 2010 | 20:40 WIB

Tidak ada komentar: