Rabu, 05 Mei 2010

Melestarikan Sungai Bersama Ciblon


Rabu, 5 Mei 2010 | 03:01 WIB


Mawar Kusuma W
Sabtu (1/5) sore, ratusan orang serentak berkerumun di ruas Sungai Gajahwong, Yogyakarta. Puluhan warga nyemplung ke sungai yang keruh. Tangan mereka menepuk-nepuk air hingga tercipta bunyi plung-plak-plung-blung, yang biasa mereka sebut musik ciblon.
Ciblon kini telah bermetamorfosis menjadi semacam indikator kerusakan lingkungan. Kaum bapak dan ibu bersorak keras sebelum melantunkan tembang Jawa dengan iringan musik ciblon. Beberapa tembang Jawa, seperti ”Suwe Ora Jamu”, diganti liriknya menjadi ”suwe ora ciblon amergo banyune mambu” (lama tidak ciblon karena airnya bau). Anak-anak pun berlarian nyemplung ke sungai.
Warga bantaran Sungai Gajahwong di Kampung Darakan Barat, Kotagede, DI Yogyakarta (DIY), kembali menghidupkan musik ciblon yang sempat hilang karena makin buruknya kualitas air sungai. Sejak lima tahun terakhir, Sungai Gajahwong dilirik kembali untuk ciblon setelah pembersihan sungai digiatkan.
Sarwanto (45) segera memijat-mijat lengannya yang terasa pegal setelah bermain musik ciblon selama hampir setengah jam. Meski sekujur tubuhnya basah kuyup, tawanya tetap berderai. Sambil menggaruk beberapa bagian tubuhnya yang terasa gatal, Sarwanto berujar, ”Jadi terkenang masa kecil.”


Sudah lebih dari 30 tahun Sarwanto dan warga bantaran Sungai Gajahwong tak pernah lagi bermain air di sungai itu. Sejak tahun 1980-an, air Sungai Gajahwong tercemar akibat pembuangan limbah industri ataupun rumah tangga.
”Dulu, (sungai ini) bersih sekali. Banyak tanaman air. Jika menyelam di bawah tanaman air, masih banyak ikan,” kata Sarwanto.
Ketika air sungai makin keruh, Sarwanto pun melarang anak-anaknya bermain di sungai. Akibatnya, generasi muda makin terpisah dari aneka budaya sungai, termasuk dari keberadaan musik ciblon. Ketika para orangtua terkenang ciblon dan mulai kembali turun ke sungai, anak-anak juga ikut berlatih menepuk-nepukkan telapak tangan hingga musik sungai itu kembali terdengar.
Mujilan (52) mengisahkan, tradisi ciblon dulu biasa dilakukan sambil mandi bersama di sungai. Sepulang bekerja, air sungai yang masih jernih menjadi tempat melepas lelah sekaligus berolahraga dengan bermain ciblon. Cukup tiga orang, air sungai sudah bisa digubah menjadi lantunan musik merdu.
Warga mengaku mulai menghidupkan ciblon setiap satu pekan sekali seusai bergotong royong membersihkan sungai. Khusus pada Sabtu awal Mei lalu, ciblon sengaja dihadirkan kembali dalam pertunjukan untuk memperingati Hari Air Sedunia. Pada kesempatan itu, seniman pantomim, Jemek Supardi, turut serta memperkenalkan kembali tradisi sungai yang juga sudah menghilang, yaitu ritual memanggil ikan.
Jemek dan warga menggunakan sapu lidi yang ditepuk- tepukkan ke permukaan air sungai. Sewaktu air sungai masih bersih, ikan yang bersembunyi di bebatuan biasanya akan keluar ketika ritual semacam ini dilakukan. Baik ritual memanggil ikan maupun ciblon merupakan tradisi yang dulunya sangat diakrabi warga bantaran sungai.
Meski airnya masih keruh, menurut warga, Sungai Gajahwong kini berangsur bersih. Sejak lima tahun terakhir, ikan-ikan yang berkeriapan di sungai tak lagi mengandung minyak oli di tubuhnya. Jentik ataupun belatung pun mulai jarang ditemui di air.
Tradisi ciblon tak hanya dikenal di Kotagede, Yogyakarta. Di pedalaman Jawa Tengah pun masyarakatnya mengenal kegiatan semacam itu. Meski tidak mentradisi, anak-anak biasanya menjadikannya sebagai ajang permainan untuk melepas lelah sehabis sekolah atau menggembala ternak.
”Karena air sungai menyusut dan tercemar limbah pabrik, permainan ciblon lama-lama hilang,” ujar Agustyarto (52), warga Desa Delanggu, Klaten.
Semasa di sekolah dasar, Agus yang kini meneruskan usaha toko buku dan alat tulis warisan orangtua mengaku biasa berciblon ria di Sungai Pusur dan Sungai Plered yang tak jauh dari rumahnya. Kedua sungai ini melewati kawasan pabrik karung Delanggu sehingga pencemaran pun tak terhindarkan.
Agus mengakui, tak semua orang bisa menciptakan gema suara saat berciblon. ”Bagi yang tidak biasa hanya bisa mengeluarkan suara cipratan air, bukan bunyi glung-glung,” tutur Agus. Penempatan telapak tangan saat bersentuhan dengan genangan air harus pas. Ada satu syarat, katanya, sungai bisa untuk ciblon kalau genangan airnya cukup, paling tidak sebatas lutut, dan air mengalir pelan.
Budaya sungai
Agus Hartana dari Lembaga Studi dan Tata Mandiri (Lestari) yang mendampingi warga bantaran sungai berharap kemunculan kembali tradisi ciblon mampu mendorong munculnya kesadaran akan pentingnya menjaga air. ”Ciblon menjadi ekspresi kegembiraan sekaligus ungkapan rasa syukur karena limpahan air,” papar Agus.
Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral DIY Budi Antono mengatakan, pemerintah terus memperbaiki kondisi sungai. Sejak 10 tahun terakhir, misalnya, pemerintah mengarahkan warga untuk menjadikan sungai sebagai halaman rumah. Orientasi bangunan diubah dari membelakangi sungai menjadi menghadap sungai.
Pemerintah juga menyediakan instalasi pengolahan air limbah dan memberi bantuan alat penjernih air. Beberapa kelompok masyarakat, seperti Forum Kali Code, Masyarakat Gambiran, dan Masyarakat Gajahwong Utara, telah memperoleh bantuan alat penjernih air.
Ketika budaya sungai, seperti tradisi ciblon, dihidupkan kembali, masyarakat niscaya akan kembali mencintai sungai. Sebab, seperti diungkapkan Agus Maryono dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, sungai berperan penting dalam keseimbangan alam; baik sebagai aset penyedia air tanah, wisata, penelitian, maupun penyedia bahan bangunan. Ayo, berciblon ria di sungai yang jernih. (pom)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/05/03590530/suhu.udara.siang..mencapai.34.derajat.celsius

Tidak ada komentar: