Selasa, 21 April 2009

Cacing Tanah, Aset Masa Depan


Sabtu, 18 April 2009 | 14:27 WIB

SHANGHAI, KOMPAS.com - Dua keluarga dari daerah Danau Dianshanhu di Kabupaten Qingpu, Shanghai, akan mengembang-biakkan cacing tanah sebagai bagian dari pilot proyek oleh satu organisasi perlindungan lingkungan hidup lokal.

Dalam kondisi yang tepat, 1 kilogram cacing tanah dapat menghabiskan sampai 1 kilogram sampah dapur setiap hari dan menghasilkan setengah kilogram limbah cacing tanah, yang dapat digunakan sebagai pupuk.

Program percobaan tersebut bertujuan mendorong peternakan cacing sebagai cara efektif mengurangi limbah dapur di kota itu.
Percobaan serupa sedang dilakukan di Beijing. Rancangan lokal tersebut sedang dikembangkan di Pusat Komunikasi dan Pelestarian Ekologi Oasis Hijau Shanghai dan Fana Alam Seluruh Dunia.

Staf Pusat Komunikasi dan Pelestarian Ekologi Oasis Hijau Shanghai telah memelihara cacing tanah di kantor mereka selama lebih dari satu tahun. Mereka memelihara cacing tanah di dalam tempat penyimpanan plastik besar dan memberi makan hewan itu dengan kulit buah serta sisa makanan.

Staf di pusat tersebut mengatakan sistem pencernaan cacing tanah berisi bermacam jenis enzim yang mampu mengurai sampah dan bahkan menghilangkan beberapa bahan beracun, seperti logam berat.

"Tiga atau empat keluarga telah mengajukan kesediaan untuk ikut dalam proyek percobaan itu, tapi para ahli kami belum menghubungi mereka," kata seorang anggota staf yang bermarga Chen di pusat tersebut.

"Kami akan memilih dua keluarga dan percobaan mereka akan dimulai pada pertengahan Mei. Kami berharap setiap keluarga dapat memelihara cacing tanah di rumah mereka," katanya.

BNJ
Sumber : Antara

Yuyun Ismawati Peroleh "Nobel Lingkungan"

Senin, 20 April 2009 | 16:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Aktivis lingkungan dari Denpasar, Bali, Yuyun Ismawati, bersama lima aktivis yang bekerja di akar rumput dari Amerika Serikat, Gabon, Banglades, Rusia, dan Paramaribo terpilih sebagai penerima Penghargaan Lingkungan Goldman 2009, semacam Nobel di bidang lingkungan. Anugerah khusus itu diserahkan di San Francisco Opera House, AS, hari Senin (20/4) pukul 17.00 waktu setempat.
"Saya sama sekali tidak menyangka mendapat penghargaan ini. Selama ini saya melakukan apa yang menjadi perhatian khusus saya saja," kata Yuyun saat dihubungi di San Francisco dari Jakarta, Minggu (19/4) waktu Indonesia. Keenam pemenang berhak atas hadiah masing-masing 150.000 dollar AS.
"Seperti pendahulunya, para penerima Penghargaan Goldman ini amat mengesankan. Mereka berhasil menghadapi rintangan yang tampaknya tak terpecahkan," ujar pendiri Penghargaan Goldman, Richard N Goldman, seperti dikutip dari siaran pers The Goldman Environmental Prize.
Penghargaan ini memasuki tahun ke-20 yang diberikan setiap tahun kepada para pejuang lingkungan di tingkat akar rumput. Sejak dimulai tahun 1989, penghargaan ini sudah diberikan kepada 133 aktivis dari 75 negara.
LEAD Fellow
Yuyun, salah satu fellow dari Program Leadership on Environment and Development (LEAD Programme) Indonesia, adalah orang Indonesia ketiga yang menerima penghargaan ini.
Ibu dua anak itu dengan lembaga Bali Fokus melakukan solusi berbasis masyarakat untuk pengelolaan sampah yang memberi peluang kerja bagi warga berpenghasilan rendah dan memberdayakan warga untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
Bersama sejumlah aktivis, ia juga mengembangkan Indonesia Toxics-Free Network (ITFN) yang di antaranya menyoroti perhatian pemerintah yang kurang terhadap isu-isu limbah berbahaya dan beracun berikut dampak publiknya.
"Indonesia terlalu santai, padahal ada banyak hal yang patut dikhawatirkan terkait isu limbah beracun," katanya.
Pemenang lain
Lima penerima penghargaan lainnya adalah Marc Ona Essangui dari Gabon (Benua Afrika), Maria Gunnoe, Bob White dari West Virginia (Amerika Utara), Olga Speranskaya dari Rusia (Benua Eropa), Rizwana Hasan dari Banglades (Asia), dan Hugo Jabini serta Wanze Eduards dari Suriname (Amerika Tengah dan Selatan).
Olga yang juga LEAD Fellow mengubah kelompok lembaga swadaya masyarakat di Eropa Timur, Kaukasus, dan Asia Tengah menjadi kekuatan potensial untuk mengidentifikasi dan memusnahkan bahan kimia beracun warisan Uni Soviet.
Marc Ona yang hidup di atas kursi roda memimpin upaya publik untuk mengungkap korupsi di balik konsesi pertambangan milik Pemerintah China yang mengancam ekosistem hutan hujan tropis di negaranya.
Maria, Bob bersama warga berjuang menentang industri batu bara yang menghancurkan puncak gunung untuk menguruk lembah. Adapun Rizwana memimpin perjuangan mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya industri pembuangan kapal.
Wanze dan Hugo adalah anggota komunitas "Maroon"—didirikan komunitas budak Afrika —yang menentang penebangan di lahan tradisional mereka. (*/MH/GSA)

Jumat, 03 April 2009

Tanggul, Pemicu, dan Audit Teknologi

 
Tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, yang jebol, Jumat (27/3) subuh. Jebolnya tanggul tersebut mengakibatkan banjir bandang yang menyebabkan puluhan orang tewas dan ratusan rumah rusak.
Rabu, 1 April 2009 | 05:01 WIB


KOMPAS.com - Menjelang ”pesta demokrasi” pemilu legislatif, Banten menangis, Jakarta menangis, Indonesia menangis. Hingga hari Senin (30/3) sudah 98 orang kehilangan nyawa dan 102 orang tak ketahuan nasibnya, menyusul jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang Selatan.

Bencana, kecuali gempa dan angin topan, sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. Bencana seperti longsor dan banjir selalu membawa pertanda sebelumnya. Korban menjadi banyak ketika mitigasi tidak dilakukan dalam bentuk antisipasi dan prevensi. Sebelum Jumat subuh itu, kata Situ Gintung berkonotasi rekreatif: kolam renang, lokasi berpetualang (adventure camp), dan rumah makan.
Situ tersebut memiliki daerah tangkapan air seluas 112,5 hektar; dari kawasan itulah situ mendapat suplai air di samping mata air asli. Kondisi permukaannya, seperti diungkapkan Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, kini berupa permukiman (39,7 persen), tegalan (22,8 persen), badan air (17 persen), kebun (18 persen), rumput atau tanah kosong (4,5 persen), dan gedung (0,6 persen).

Dari kondisi permukaan itu, yang mampu menyerap air adalah tegalan, badan air (yaitu situ atau saluran irigasi), kebun, dan rumput atau tanah kosong.

Pada situ seluas 21,4 hektar tersebut hanya ada satu spillway (saluran buang) selebar kira-kira 5 meter dan dua saluran irigasi yang lebarnya sekitar 1 meter, yang menurut Sutopo saat itu tidak bekerja optimal.

Jika curah hujan besar, kecepatan aliran air melalui saluran buang akan tidak memadai sehingga ada kemungkinan terjadi limpasan (overtopping), bahasa awamnya luberan.

Menempel pada bagian luar tanggul adalah permukiman padat, mulai dari kaki tanggul, terletak di bawah tanggul sekitar 15-20 meter. Sungguh rawan karena bisa terkena longsoran tanggul. Mestinya, minimal 100 meter dari kaki tanggul tidak boleh ada bangunan. Permukiman itu mengurangi lebar saluran air dari semula 5-7 meter kini tinggal 1 meter. Kondisi ini berpotensi menambah beban air pada situ karena air tidak tersalur ke luar.

Kemungkinan penyebab

Menurut peneliti dari Pusat Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, ada tiga faktor penyebab bencana. Ketiga faktor itu adalah faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (bencana lain seperti gempa, longsor, dan hujan besar), dan faktor manusia (pembangunan sekitar tanggul, pembabatan hutan, dan sebagainya).

Di sekitar Situ Gintung sudah sejak lama tak ada hutan. Saat itu pun tak terjadi gempa. Dari data Sutopo yang didapatnya saat melakukan kajian kualitas air dan pemanfaatan air situ untuk waduk resapan 5 Desember 2008, pada bagian tanggul yang jebol Jumat lalu telah didapati erosi buluh (piping). Erosi itu diduga sudah lama terjadi karena muncul mata air di bawah tanggul. Rembesan air ke dalam kapiler retakan menyebabkan kapiler bertambah besar. Akibatnya, terjadi deformasi struktur saluran buang.

Dan, dorongan massa air menyebabkan badan tanggul longsor karena kapiler (retakan kecil) terisi air. Ketika bagian atas tanggul longsor, beban massa air berpindah ke bawah sehingga bagian dasar tanggul tergerus. Ini mengakibatkan tanggul jebol hingga sekitar 20 meter tingginya.

Setelah tanggul jebol, rembesan air di sekeliling tanggul memberi beban besar sehingga tanggul jebol semakin lebar pada 27 Maret 2009. Lapisan tanah pada Situ Gintung merupakan sedimen muda—batuan kuarter, tersier—mudah longsor. Situ dengan struktur batuan muda umumnya dibuat tanggul urukan. Selain urukan, ada tipe busur (berbentuk melengkung) dan tipe graviti-tanggul beton di sisi luar miring ke luar, di sisi dalam datar seperti dinding.

Meski beban massa air menyebabkan tanggul jebol, hujan pada Kamis, 26 Maret 2009, dari penelusuran Sutopo bukanlah faktor tunggal penyebab, melainkan hanya pemicu. Dari catatan di Stasiun Meteorologi Ciputat—terdekat dengan Situ Gintung—curah hujan 113,2 milimeter per hari, dari Stasiun Meteorologi Pondok Betung, curah hujan normal selama tiga jam disusul 1,5 jam curah hujan ekstrem 70 mm per jam!

Curah hujan 180 mm pada tahun 1996 tercatat di Stasiun Pondok Betung (Stasiun Ciputat baru dibangun tahun 2007), tanggul Situ Gintung tidak jebol. Juga saat 2007 ketika curah hujan 275-300 mm per hari di sekitar Situ Gintung, tanggul situ tetap aman. Pada dua kejadian itu, Jakarta banjir besar.

Di sisi lain, bagian saluran buang bisa dikatakan merupakan titik lemah. Analoginya adalah: seseorang yang dalam kondisi bugar tak akan mudah terinfeksi virus. Ketika kondisinya lemah akibat kurang tidur dan kelelahan, seseorang akan lebih mudah terserang penyakit.

Sutopo mencatat, secara global terdapat 78 persen bendungan jebol adalah tipe urukan, sedangkan tipe lainnya 22 persen. Adapun runtuhnya bendung di dunia, 38 persen akibat erosi buluh, 35 persen akibat peluapan air, 21 persen fondasi jebol, dan 6 persen karena longsoran dan lainnya.

Akan tetapi, untuk mengetahui secara tepat penyebab jebolnya tanggul, perlu dilakukan kajian lebih mendalam dengan meneliti faktor lainnya, seperti aktivitas pengerukan sedimen situ dengan ekskavator, atau hilangnya batu-batu di luar tanggul misalnya.

Belajar dengan mahal

Bencana adalah arena belajar yang amat mahal. Mestinya pihak yang bertanggung jawab langsung atas Situ Gintung melakukan tugasnya dengan tepat. Masyarakat, sesuai amanat undangundang bencana, juga harus bertanggung jawab dengan melaporkan potensi bencana, sementara pemerintah harus membuka diri pada laporan masyarakat apa pun bentuknya, tertulis atau tidak tertulis. Mengabaikan laporan masyarakat hanya menunjukkan arogansi penguasa; masyarakat Situ Gintung sudah pernah melaporkan kerusakan tanggul pada dua tahun sebelumnya.

Selain itu, lembaga penelitian seperti BPPT dan lainnya sudah seharusnya dilibatkan untuk melakukan audit teknologi demi keamanan struktur pada situ-situ. Saat ini sudah ada sejumlah teknologi ciptaan mereka sendiri yang mampu mendeteksi kelayakan teknis sebuah bendung.

Jangan lupa, masih ada 189 situ lain di Jabodetabek. Beberapa di antaranya perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan bencana. Pada akhirnya, keselamatan dan keamanan manusia semestinya diletakkan pada posisi teratas kebijakan pembangunan sehingga pada setiap pembangunan harus selalu disertakan analisis risiko.

YUN
Sumber : Kompas Cetak

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/04/01/05011699/tanggul.pemicu.dan.audit.teknologi#

Bantar Gebang Dibenahi

 
Sampah Bantar Gebang

Jumat, 3 April 2009 | 06:24 WIB


BEKASI, KOMPAS.com - Setelah tertunda beberapa tahun, pembangunan industri pengolahan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang, Bekasi, akhirnya dimulai, Kamis (2/4). Industri pengolahan itu akan mengubah sampah dari Jakarta menjadi kompos, biji plastik, dan listrik.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad meletakkan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan industri pengolahan sampah. Pembangunan fasilitas industri pengolahan itu akan menjadikan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang sebagai yang paling modern di Indonesia.

Mochtar mengatakan, industri pengolahan yang dikelola oleh PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Energi Organik Indonesia itu mampu mengolah 4.500 ton sampah yang dikirimkan setiap hari. Sampah yang semula dikelola dengan sistem penimbunan atau sanitary land fill kini diubah menjadi produk-produk bernilai ekonomi.
Sistem pengolahan sampah yang dibangun dengan dana investasi Rp 700 miliar itu, kata Mochtar, jauh lebih ramah lingkungan daripada sistem sanitary land fill. Tidak ada pencemaran lindi atau air sampah karena industri itu memiliki sistem pengolahan limbah cair.

”Industri ini juga memanfaatkan gas metan yang dihasilkan sampah untuk menjadi bahan bakar bagi pembangkit listrik. Gas metan dari TPST tidak lagi mencemari udara dan tidak merusak lapisan ozon,” kata Mochtar.

Pembangkit listrik di TPST Bantar Gebang mampu menghasilkan 26 megawatt listrik. Listrik itu akan dibeli oleh PLN dan masuk dalam jaringan distribusi Jabodetabek. Di sisi lain, industri pengolahan sampah tidak membutuhkan penambahan lahan secara berkala. Dengan demikian, Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu repot memikirkan perluasan kawasan untuk menampung sampah baru.

Perluasan lahan TPST sering menjadi masalah karena banyak protes dari masyarakat sekitar TPST. Lahan TPST seluas 108 hektar juga sering menjadi komoditas politik terkait dengan kompensasi.

Menguntungkan

Fauzi Bowo memuji kerja sama Pemkot Bekasi untuk mewujudkan industri pengolahan sampah modern itu. Kerja sama itu bukan hanya menguntungkan kedua pemerintah, tetapi juga warga sekitar. ”Industri pengolahan sampah ini membuka lapangan kerja bagi 1.200 warga setempat sebagai tenaga pemilah sampah,” kata Fauzi.

Pola kerja sama antardaerah semacam ini akan dikembangkan di Tangerang. Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten akan membangun industri pengolahan sampah serupa di Ciangir, Tangerang.

Jika TPST Bantar Gebang untuk menampung dan mengolah sampah di Jakarta bagian timur, industri pengolahan sampah di Ciangir akan mengolah sampah dari Jakarta bagian barat. Pemprov DKI Jakarta dan mitra swasta juga sudah membangun industri pengolahan sampah di Cakung-Cilincing, Jakarta Utara, yang mampu mengolah 1.500 ton sampah menjadi kompos atau bahan bakar padat.

Di sisi lain, kata Fauzi, Pemprov DKI Jakarta akan mencari kompensasi dari dunia internasional karena pengolahan sampah di TPST Bantar Gebang ramah lingkungan. Kompensasi dana internasional melalui mekanisme kredit karbon akan digunakan untuk menambah industri pengolahan sampah yang ramah lingkungan.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/04/03/06245070/Bantar.Gebang.Dibenahi.

Rabu, 01 April 2009

Botol Plastik + Sinar Matahari = Air Minum

Oleh : Richel Langit-Dursin

JAKARTA (IPS) - BOTOL-BOTOL plastik dan sinar matahari dipakai warga Bintaro, Jakarta Selatan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga terhadap air bersih untuk keperluan minum.

Warga Bintaro, yang warga miskinnya kebanyakan tinggal dekat tempat pembuangan sampah di Jalan Bintaro Permai di Pesanggrahan, hanya bermodalkan botol-botol plastik bekas dan terik matahari untuk menghasilkan air, yang mereka pompa dari tanah, layak minum.

“Kami tak perlu mengeluarkan uang lagi untuk mendapatkan air minum yang bersih,” ujar Dewi, ibu rumahtangga berusia 29 tahun dengan tiga anak.
Seperti juga para tetangganya, Dewi mensterilkan air kotor itu dengan memasaknya. Dia membelanjakan Rp 45.000 untuk membeli 15 liter minyak tanah bersubsidi setiap bulan. Meski uang itu kelihatannya kecil, tapi sangat berarti bagi Dewi. Suaminya hanya berpenghasilan Rp 10.000 per hari.

Harga satu liter minyak tanah Rp 3.000. Di sejumlah tempat di Jakarta, minyak menjadi langka sejak perusahaan minyak milik negara Pertamina mengurangi pasokannya sebagai upaya pemerintah mempromosikan penggunaan elpiji.

Sejak dua bulan lalu Dewi menggunakan metode sterilisasi air yang murah dengan menjemurnya di bawah sinar matahari. Sejak itu, dia bisa menghemat uang untuk minyak tanah. Tidak seperti sebelumnya, Dewi sekarang hanya membeli enam liter minyak tanah per bulan untuk memasak. Uang yang bisa dia hemat dipakai untuk biaya sekolah putrinya yang berusia 12 tahun.

Metode tersebut, yang juga dikenal dengan proses menjemur air (solar water disinfection) atau SODIS, memungkinkan warga menghemat uang yang bisa dipakai untuk berobat. Menurut warga, anak-anak mereka jarang terkena diare. Seorang warga laki-laki percaya bahwa air hasil proses ini bisa mengobati diabetes.

“Ini sama seperti air kemasan,” ujar Mulyani, kepala desa berusia 40 tahun, yang awalnya ragu dan takut meminum air yang dia sterilkan di bawah sinar matahari.

Sebanyak 52 keluarga miskin di Bintaro Permai belajar metode hemat energi itu dari Emmanuel Foundation. Organisasi nonpemerintah ini didirikan oleh Emmanuel Laumonier, mantan mahasiswa Jakarta International School (JIS). Awalnya dia menolak terlibat dalam proyek pelayanan masyarakat. Tapi setelah bekerja di panti asuhan, dia memutuskan mencurahkan hidupnya untuk membantu sesama.

“Proses menjemur air tidaklah sulit,” ujar Mindy Weimer, mantan mahasiswa JIS yang menjadi direktur Program Air di Emmanuel Foundation. Mempromosikan akses ke air bersih hanyalah salah satu proyek lembaga ini. Organisasi ini juga menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak yatim piatu.

Untuk mendapatkan air bersih, warga harus membersihkan botol plastik yang bening, mengisinya dengan air, menutup rapat tutup botol, dan menjemurnya di bawah sinar matahari selama enam jam. Botol harus terisi penuh. Sebab, udara bisa membelokkan sinar ultraviolet dan menghalanginya untuk membunuh bakteri dalam air.

Jika botol diletakkan di atas sepotong kain hitam, air akan menyerap panas lebih cepat. Karena miskin, warga menempatkan botol-botol itu di atap gubuk mereka.

Ketika warga belajar proses SODIS ini, mereka takjub bahwa sinar matahari bisa membunuh bermacam bakteri dalam air yang menyebabkan penyakit seperti diare, tipus, kolera, dan disentri.

Salah satu masalah mereka adalah kekurangan botol-botol plastik. Sebab, mereka juga menjualnya untuk mendapatkan uang. Dewi, misalnya, hanya menggunakan tiga botol plastik, sementara keluarganya mengonsumsi sekitar empat botol air setiap hari.

“Jika kami benar-benar kehausan, kami minum air tanah secara langsung,” ujar Dewi.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, sekitar 80 persen penduduk Indonesia mendapatkan air dari sumber yang tercemar. Air tanah di Indonesia terkontaminasi bakteri faecal coliform karena banyak warga tidak punya tempat pembuangan kotoran (septic tank).

Kontaminasi juga disebabkan oleh pipa yang berkarat, banyak di antaranya sudah dipakai selama 80 tahun –dipasang selama masa kolonial Belanda.

Data itu juga menunjukkan, lebih dari 100 juta orang Indonesia tidak memiliki akses air layak minum. Perusahaan-perusahaan air di Indonesia, negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, hanya mampu melayani sekitar 40 persen rumahtangga perkotaan. Selebihnya bergantung pada sumber lain seperti sumur atau penjual air. Di daerah pedesaan, perusahaan air hanya melayani 10 persen rumahtangga.

Orang-orang Indonesia, yang tidak memiliki akses air bersih, membeli air seharga Rp 25.000 per meter kubik.

Sanitasi yang buruk menyebabkan sekitar 100.000 anak-anak meninggal dunia karena diare setiap tahun. Penyakit ini menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian anak-anak di Indonesia.

Selain menerapkan metode SODIS, orang-orang di Indonesia memasak air, menggunakan sistem saringan keramik (ceramic filter system), atau membeli larutan sodium hypochlorite untuk mengatasi air yang terkontaminasi. Menurut Kementerian Kesehatan, dari semua metode penanganan air itu, memasak air paling populer. Lebih dari 90 persen penduduk melakukannya setiap hari.

Tapi, menurut Zainal Nampira, kepala subdirektorat Penyehatan Air di Kementerian Kesehatan, memasak air menyebabkan polusi udara.

“Asap dari pembakaran minyak tanah atau katu bakar menyebabkan iritasi mata dan masalah pada paru-paru,” ujar Nampira. Dia menambahkan, organisme penyebab penyakit tidak mati jika air tidak dimasak dengan benar. Untuk membuatnya aman diminum, air harus dibiarkan mendidik selama satu menit.

Meski hemat biaya, menjemur air saat ini hanya dipraktikkan oleh sedikit komunitas. Orang Indonesia yang mampu membeli segalon air mineral, yang harganya sekitar Rp 9.000.

Di luar Jakarta, metode sederhana itu diterapkan oleh sejumlah warga Yogyakarta yang terkena gempa dan warga di provinsi Lombok Timur.

Salah satu alasan yang membuat warga enggan menggunakan metode ini adalah prosesnya lama. Selama hari-hari cerah, mereka harus menunggu selama enam jam agar air dimurnikan. Tapi jika cuaca mendung, mereka harus membiarkan botol-botol plastik itu selama dua hari.

“Kami tidak bisa mengandalkan cuaca. Terkadang hari tidak begitu cerah,” ujar Syarief, warga Tanjung Priok meratap.

Di Indonesia, musim penghujan jatuh pada bulan November dan berakhir pada bulan Maret. Tapi, warga Jakarta masih menerima hujan sampai bulan Juli.

Alasan lainnya, orang Indonesia, khususnya di Jawa, lebih suka minum teh panas. Maka, mereka memilih memasak air.

“Alasan lain mengapa penduduk tidak suka menjemur air adalah bahwa mereka merasa metode ini hanya untuk orang miskin,” ujar Arum Wulandari, ahli kesehatan masyarakat dari Emmanuel Foundation.

Untuk alasan kesehatan, lembaga ini tidak menganjurkan air hasil SODIS untuk konsumsi anak-anak di bawah usia dua tahun dan orang dengan HIV/AIDS. Sebab, mereka punya sistem kekebalan tubuh yang rendah. Lembaga ini juga belum melakukan riset yang cukup untuk meyakinkan bahwa proses SODIS ini efektif melawan penyakit polio.

“Menjemur air di bawah sinar matahari tidak membunuh seluruh bakteri,” ujar Wulandari. Dia menganjurkan penduduk yang menggunakan metode ini membersihkan botol-botol plastik sebelum mengisinya dengan air.

Lembaga ini menemukan sejumlah warga di Tanjung Priok memakai botol-botol plastik berkali-kali tanpa membersihkannya.

Untuk mempromosikan penggunaan metode ini, Emmanuel Foundation mendistribusikan buku-buku komik ke anak-anak sekolah, khususnya mereka yang tinggal di perkampungan miskin. “Kami percaya bahwa anak-anak bisa mempengaruhi orangtua mereka untuk mendapatkan air melalui pemurnian matahari,” ujar Mita Sirait, promotor kesehatan masyarakat dari lembaga ini.

Buku-buku komik itu menggambarkan seorang gadis sedang berlari-lari di lapangan dengan ayahnya. Setelah lelah berlari, gadis itu, Ani namanya, meminta ayahnya membeli air kemasan. Mereka meminum smapai tandas. Sang ayah akan melemparkan botol plastik yang sudah kosong itu tapi Ani mencegahnya.

“Dengan botol ini kita bisa menyulap air mentah menjadi air yang sehat untuk diminum,” kata Ani.

Setelah itu Ani menjelaskan proses membuat air sehat dengan sinar matahari dan dampak negatif minum air mentah, didasarkan apa yang dia telah pelajari dari gurunya.

“Jika kita tidak punya sikat untuk membersihkan botol plastik itu, kita bisa menggunakan batang bambu atau kayu dan mengikatkan sehelai kain pada ujungnya,” ujarnya. Kisah pun berakhir dengan keluarga Ani yang hidup bahagia dan sehat.*


Translated and edited by Budi Setiyono

*) Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS.
Sumber : http://www.pantau.or.id/inc/printberitakerjasama.php?id=82