Rabu, 01 April 2009

Botol Plastik + Sinar Matahari = Air Minum

Oleh : Richel Langit-Dursin

JAKARTA (IPS) - BOTOL-BOTOL plastik dan sinar matahari dipakai warga Bintaro, Jakarta Selatan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga terhadap air bersih untuk keperluan minum.

Warga Bintaro, yang warga miskinnya kebanyakan tinggal dekat tempat pembuangan sampah di Jalan Bintaro Permai di Pesanggrahan, hanya bermodalkan botol-botol plastik bekas dan terik matahari untuk menghasilkan air, yang mereka pompa dari tanah, layak minum.

“Kami tak perlu mengeluarkan uang lagi untuk mendapatkan air minum yang bersih,” ujar Dewi, ibu rumahtangga berusia 29 tahun dengan tiga anak.
Seperti juga para tetangganya, Dewi mensterilkan air kotor itu dengan memasaknya. Dia membelanjakan Rp 45.000 untuk membeli 15 liter minyak tanah bersubsidi setiap bulan. Meski uang itu kelihatannya kecil, tapi sangat berarti bagi Dewi. Suaminya hanya berpenghasilan Rp 10.000 per hari.

Harga satu liter minyak tanah Rp 3.000. Di sejumlah tempat di Jakarta, minyak menjadi langka sejak perusahaan minyak milik negara Pertamina mengurangi pasokannya sebagai upaya pemerintah mempromosikan penggunaan elpiji.

Sejak dua bulan lalu Dewi menggunakan metode sterilisasi air yang murah dengan menjemurnya di bawah sinar matahari. Sejak itu, dia bisa menghemat uang untuk minyak tanah. Tidak seperti sebelumnya, Dewi sekarang hanya membeli enam liter minyak tanah per bulan untuk memasak. Uang yang bisa dia hemat dipakai untuk biaya sekolah putrinya yang berusia 12 tahun.

Metode tersebut, yang juga dikenal dengan proses menjemur air (solar water disinfection) atau SODIS, memungkinkan warga menghemat uang yang bisa dipakai untuk berobat. Menurut warga, anak-anak mereka jarang terkena diare. Seorang warga laki-laki percaya bahwa air hasil proses ini bisa mengobati diabetes.

“Ini sama seperti air kemasan,” ujar Mulyani, kepala desa berusia 40 tahun, yang awalnya ragu dan takut meminum air yang dia sterilkan di bawah sinar matahari.

Sebanyak 52 keluarga miskin di Bintaro Permai belajar metode hemat energi itu dari Emmanuel Foundation. Organisasi nonpemerintah ini didirikan oleh Emmanuel Laumonier, mantan mahasiswa Jakarta International School (JIS). Awalnya dia menolak terlibat dalam proyek pelayanan masyarakat. Tapi setelah bekerja di panti asuhan, dia memutuskan mencurahkan hidupnya untuk membantu sesama.

“Proses menjemur air tidaklah sulit,” ujar Mindy Weimer, mantan mahasiswa JIS yang menjadi direktur Program Air di Emmanuel Foundation. Mempromosikan akses ke air bersih hanyalah salah satu proyek lembaga ini. Organisasi ini juga menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak yatim piatu.

Untuk mendapatkan air bersih, warga harus membersihkan botol plastik yang bening, mengisinya dengan air, menutup rapat tutup botol, dan menjemurnya di bawah sinar matahari selama enam jam. Botol harus terisi penuh. Sebab, udara bisa membelokkan sinar ultraviolet dan menghalanginya untuk membunuh bakteri dalam air.

Jika botol diletakkan di atas sepotong kain hitam, air akan menyerap panas lebih cepat. Karena miskin, warga menempatkan botol-botol itu di atap gubuk mereka.

Ketika warga belajar proses SODIS ini, mereka takjub bahwa sinar matahari bisa membunuh bermacam bakteri dalam air yang menyebabkan penyakit seperti diare, tipus, kolera, dan disentri.

Salah satu masalah mereka adalah kekurangan botol-botol plastik. Sebab, mereka juga menjualnya untuk mendapatkan uang. Dewi, misalnya, hanya menggunakan tiga botol plastik, sementara keluarganya mengonsumsi sekitar empat botol air setiap hari.

“Jika kami benar-benar kehausan, kami minum air tanah secara langsung,” ujar Dewi.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, sekitar 80 persen penduduk Indonesia mendapatkan air dari sumber yang tercemar. Air tanah di Indonesia terkontaminasi bakteri faecal coliform karena banyak warga tidak punya tempat pembuangan kotoran (septic tank).

Kontaminasi juga disebabkan oleh pipa yang berkarat, banyak di antaranya sudah dipakai selama 80 tahun –dipasang selama masa kolonial Belanda.

Data itu juga menunjukkan, lebih dari 100 juta orang Indonesia tidak memiliki akses air layak minum. Perusahaan-perusahaan air di Indonesia, negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, hanya mampu melayani sekitar 40 persen rumahtangga perkotaan. Selebihnya bergantung pada sumber lain seperti sumur atau penjual air. Di daerah pedesaan, perusahaan air hanya melayani 10 persen rumahtangga.

Orang-orang Indonesia, yang tidak memiliki akses air bersih, membeli air seharga Rp 25.000 per meter kubik.

Sanitasi yang buruk menyebabkan sekitar 100.000 anak-anak meninggal dunia karena diare setiap tahun. Penyakit ini menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian anak-anak di Indonesia.

Selain menerapkan metode SODIS, orang-orang di Indonesia memasak air, menggunakan sistem saringan keramik (ceramic filter system), atau membeli larutan sodium hypochlorite untuk mengatasi air yang terkontaminasi. Menurut Kementerian Kesehatan, dari semua metode penanganan air itu, memasak air paling populer. Lebih dari 90 persen penduduk melakukannya setiap hari.

Tapi, menurut Zainal Nampira, kepala subdirektorat Penyehatan Air di Kementerian Kesehatan, memasak air menyebabkan polusi udara.

“Asap dari pembakaran minyak tanah atau katu bakar menyebabkan iritasi mata dan masalah pada paru-paru,” ujar Nampira. Dia menambahkan, organisme penyebab penyakit tidak mati jika air tidak dimasak dengan benar. Untuk membuatnya aman diminum, air harus dibiarkan mendidik selama satu menit.

Meski hemat biaya, menjemur air saat ini hanya dipraktikkan oleh sedikit komunitas. Orang Indonesia yang mampu membeli segalon air mineral, yang harganya sekitar Rp 9.000.

Di luar Jakarta, metode sederhana itu diterapkan oleh sejumlah warga Yogyakarta yang terkena gempa dan warga di provinsi Lombok Timur.

Salah satu alasan yang membuat warga enggan menggunakan metode ini adalah prosesnya lama. Selama hari-hari cerah, mereka harus menunggu selama enam jam agar air dimurnikan. Tapi jika cuaca mendung, mereka harus membiarkan botol-botol plastik itu selama dua hari.

“Kami tidak bisa mengandalkan cuaca. Terkadang hari tidak begitu cerah,” ujar Syarief, warga Tanjung Priok meratap.

Di Indonesia, musim penghujan jatuh pada bulan November dan berakhir pada bulan Maret. Tapi, warga Jakarta masih menerima hujan sampai bulan Juli.

Alasan lainnya, orang Indonesia, khususnya di Jawa, lebih suka minum teh panas. Maka, mereka memilih memasak air.

“Alasan lain mengapa penduduk tidak suka menjemur air adalah bahwa mereka merasa metode ini hanya untuk orang miskin,” ujar Arum Wulandari, ahli kesehatan masyarakat dari Emmanuel Foundation.

Untuk alasan kesehatan, lembaga ini tidak menganjurkan air hasil SODIS untuk konsumsi anak-anak di bawah usia dua tahun dan orang dengan HIV/AIDS. Sebab, mereka punya sistem kekebalan tubuh yang rendah. Lembaga ini juga belum melakukan riset yang cukup untuk meyakinkan bahwa proses SODIS ini efektif melawan penyakit polio.

“Menjemur air di bawah sinar matahari tidak membunuh seluruh bakteri,” ujar Wulandari. Dia menganjurkan penduduk yang menggunakan metode ini membersihkan botol-botol plastik sebelum mengisinya dengan air.

Lembaga ini menemukan sejumlah warga di Tanjung Priok memakai botol-botol plastik berkali-kali tanpa membersihkannya.

Untuk mempromosikan penggunaan metode ini, Emmanuel Foundation mendistribusikan buku-buku komik ke anak-anak sekolah, khususnya mereka yang tinggal di perkampungan miskin. “Kami percaya bahwa anak-anak bisa mempengaruhi orangtua mereka untuk mendapatkan air melalui pemurnian matahari,” ujar Mita Sirait, promotor kesehatan masyarakat dari lembaga ini.

Buku-buku komik itu menggambarkan seorang gadis sedang berlari-lari di lapangan dengan ayahnya. Setelah lelah berlari, gadis itu, Ani namanya, meminta ayahnya membeli air kemasan. Mereka meminum smapai tandas. Sang ayah akan melemparkan botol plastik yang sudah kosong itu tapi Ani mencegahnya.

“Dengan botol ini kita bisa menyulap air mentah menjadi air yang sehat untuk diminum,” kata Ani.

Setelah itu Ani menjelaskan proses membuat air sehat dengan sinar matahari dan dampak negatif minum air mentah, didasarkan apa yang dia telah pelajari dari gurunya.

“Jika kita tidak punya sikat untuk membersihkan botol plastik itu, kita bisa menggunakan batang bambu atau kayu dan mengikatkan sehelai kain pada ujungnya,” ujarnya. Kisah pun berakhir dengan keluarga Ani yang hidup bahagia dan sehat.*


Translated and edited by Budi Setiyono

*) Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS.
Sumber : http://www.pantau.or.id/inc/printberitakerjasama.php?id=82

Tidak ada komentar: