Kamis, 18 Desember 2008

Taman Pintar Yogyakarta, Pemikiran Cerdas Memajukan Pendidikan



Selasa, 16 Desember 2008 | 21:04 WIB

YOGYAKARTA, SELASA - Taman Pintar Yogyakarta, wahana edukasi-kreasi berkonsep sains dan teknologi, merupakan prakarsa dan pemikiran yang cerdas untuk memajukan pendidikan.

Hal itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam grand opening Taman Pintar, Selasa (16/12). Kegiatan ini sekaligus membuka area gedung kotak dan gedung memorabilia di taman pendidikan tersebut.

Menurut Presiden, jangan sampai gagap teknologi terjadi. Oleh karenanya, ia mengajak pemimpin daerah/kota untuk melihat konsep Taman Pintar dan menerapkannya di daerah masing-masing.
"Anak-anak berada dalam masa untuk mudah mendapatkan pembentukan nilai, watak, dan perilaku. Anak-anak mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Persoalannya adalah, bagaimana mewujudkan wahana, metodologi pendidikan untuk mencapai sasaran itu," katanya.

"Di Taman Pintar, metodologi itu sudah ketemu. Kalau generasi muda tidak pandai, tidak mampu mengikuti, menyesuaikan, dan mendayagunakan iptek yang makin canggih, bisa jadi bangsa ini akan mengalami guncangan budaya, gagap teknologi," ujar Presiden.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mengatakan, Taman Pintar mengadopsi ajaran Ki Hajar Dewantara yakni niteni, nirokke, nambahi (memahami, menirukan, dan menambah). Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono mengatakan, ketika Taman Pintar mengedepankan filosofi Ki Hajar Dewantara itu, anak-anak akan terangsang keingintahuannya. "Anak menjadi inspiratif dan inovatif dalam bidang iptek dan sains," kata Sultan.

Grand opening Taman Pintar dihadiri perwakilan dari mantan-mantan presiden, yakni Guruh Soekarnoputra (putra Soekarno), Ibu Soehardjo (kerabat dari keluarga almarhum Soeharto), Watik Pratikno (kerabat dari keluarga BJ Habibie), Yenny Wahid (puteri Gus Dur), dan Puan Maharani (puteri Megawati Soekarnoputri).

Sebelum grand opening, Taman Pintar yang dibangun sejak 2003 ini, sudah dua kali soft opening. Yang pertama 20 Mei 2006 dengan membuka area pendidikan anak usia dini (PAUD) dan playground. Yang kedua, pada 9 Juni 2007 dengan membuka gedung oval.

Gedung kotak berisi zona pengolahan minyak bumi dan zona jembatan sains (memaparkan peraga kimia, bilogi, matematika, dan fisika). Selain itu zona Indonesiaku (diisi antara lain gamelan dan replika Candi Borobudur), zona teknologi modern, serta zona teknologi canggih. Gedung Memorabilia memaparkan pengetahuan sejarah kesultanan, kepresidenan, dan tokoh pendidikan. Di sini bisa melihat tentang pemimpin bangsa, misalnya para mantan presiden.(Lukas Adi Prasetya)

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/16/21044836/taman.pintar.yogyakarta.pemikiran.cerdas.memajukan.pendidikan.

Polsus Lingkungan Mendesak Dibentuk

Rabu, 10 Desember 2008 | 22:00 WIB

JAKARTA, RABU - Keberadaan polisi khusus (Polsus) lingkungan sangat mendesak karena kerusakan dan pencemaran sudah sangat parah. Setiap tahun terjadi bencana alam di mana-mana karena kualitas udara, air dan tanah yang kondisinya terus memburuk.

"Kalau ada polisi pariwisata, polisi kehutanan, dan polisi kereta api, kenapa tak ada polisi lingkungan yang tugasnya beri penyuluhan bahaya pencemaran, termasuk menindak secara hukum pelaku pencemaran baik industri maupun masyarakat," kata Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, dalam pengukuhan Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), di Savoy Homann Bandung, Rabu (10/12).
Wagub Jabar Dede Yusuf mengatakan, masalah lingkungan sudah sangat serius, maka dia mengusulkan ada polisi khusus lingkungan. Ke depan di Indonesia ada polisi khusus lingkungan (environmental police) yang mengawasi secara khusus dampak pencemaran. Aparat penegak hukum itu bisa unit khusus Polri atau di Satpol Pamong Praja di tiap daerah.

Menurut Dede, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) hanya membuat regulasi dan himbauan sedangkan Pemda juga hanya bisa bikin peraturan. Sementara penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) kurang efektif. "Sehingga kehadiran polisi khusus yang menangani pencemaran sangat diperlukan dan mendesak," katanya.

Menurut mantan anggota DPR RI itu, untuk mengurangi kerusakan kualitas air, Pemprov Jabar akan segera mengeluarkan peraturan agar rumah harus menghadap sungai. Batas antara rumah/pabrik dan sungai juga harus di atas 15 meter. Diharapkan dengan menghadap sungai, masyarakat dan industri tidak akan buang sampah sembarangan.

Dijelaskan, secara kelembagaan, Jabar juga jadi percontohan nasional untuk program sertifikasi MPPA (Manajer Pengendali Pencemaran Air (MPPA) bagi para pemilik industri.
Adapun program tersebut didanai Jetro Jepang dan mendapat dukungan penuh KLH, Departemen Perindustrian, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Jabar juga provinsi pertama di Indonesia yang memiliki APPLI.

Johnson Simanjuntak
Sumber : Persda Network
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/10/22005275/polsus.lingkungan.mendesak.dibentuk.

Ulah Manusia Menyebabkan Lingkungan Hancur

Senin, 15 Desember 2008 | 20:43 WIB

BANDUNG, SENIN - Ulah manusia menjadi penyebab kepunahan terbesar mahluk hidup. Ulah manusia menyebabkan kehancuran lingkungan hidup dan kepunahan lingkungan hidup di bumi dengan cepat ketimbang perubahan evolusi, baik perubahan iklim dan bencana alam.

Demikian dikatakan Dr. H. Fachroel Aziz dalam orasi ilmiah berjudul Evolusi dan Paleontologi Vertebrata Indonesia: Prespektif Perubahan Iklim di Ba dan Geologi, Senin (15/12). Orasi ini disampaikannya ketika dinobatkan sebagai profesor riset bidang Paleontologi. Dua peneliti lainnya yang dinobatkan sebagai profesor riset adalah Bhakti Hamonangan Harahap Msc (Petrografi) dan Dr. Hamdan Zaenal Abidin M.App.Sc (Geologi dan Geofisika).
Menurut Fachroel, ada tiga penyebab kepunahan. Kepunahan yang disebabkan bencana alam, jangka panjang akibat perubahan iklim, dan akibat ulah manusia.

Fachroel mengatakan contoh kepunahan akibat bencana alam adalah punahnya fauna endemik Tangiitalo di Cekungan Soa Flores. Penyebabnya adalah bencana alam letusan gunung api Soa, sekitar 2 juta tahun lalu. Selain itu ada letusan gunung api Tambora di Sumbawa tahun 1815 yang memusnahkan etnis Tambora.

Selain itu ada kepunahan berangsur akibat perubahan iklim. Contoh nyata adalah suksesi kehidupan fauna di Jawa. Diantaranya Fauna Satir (sekitar 1.500 tahun lalu) yang didominasi mastodon, hippotatamus, dan kura-kura besar. Fauna Cisaat Fauna Trinil (1.200 - 1.000 ribu tahun) didominasi stegodon dan rusa . Fauna Kedungbrubus Fauna Ngandong (800-200 ribu tahun) didominasi gajah (Elephas hysudrindicus) , tapir (Tapirus indicus), babi (Susmagrognathus), dan homo erectus solonensis. Setelah itu ada Fauna Punung (200-25 ribu tahun) yang didominasi beruang (Ursus malayanus), kambing (Capricornus sumatraensis) serta manusia modern (Homo sapiens).

Yang terakhir tapi adalah yang paling memprihatinkan yaitu kepunahan akibat ulah manusia. Hal itu tercermin punahnya fauna di Jawa. Diantaranya harimau, tapir, dan gajah. Perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi pemukiman dan pertanian adalah penyebab utamanya.

"Hal ini dikhawatirkan terjadi bagi fauna yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan mereka terancam seperti di Jawa," katanya.

Ia mengatakan kepunahan yang disebabkan bencana alam dan perubahan iklim merupakan perubahan evolusi yang berlangsung jutaan tahun dan sangat unik dalam sejarah bumi. Namun, kepunahan yang disebabkan manusia, menyebabkan dampak cepat yang menyebabkan kehancuran lingkungan hidup yang sangat luas. Hal ini menandakan perubahan secara evolusi tidak dapat mengimbangi perubahan drastis akibat ulah manusia.

Ditambahkannya, manusia adalah mahluk pembuat bencana dan sekaligus coba mengatasinya. Namun, seringkali tidak berhasil dan bahkan gagal dalam usahanya menyelamatkan lingkungan. "Ini sebuah krisis serius dan harus segera dilihat oleh banyak pihak," katanya.

CHE
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/15/20434740/ulah.manusia.menyebabkan.lingkungan.hancur

Senin, 08 Desember 2008

Emisi Gas Rumah Kaca Capai Rekor Tertinggi

 
Lubang ozon fluktiatif dari tahun ke tahun namun cenderung meluas.

Kompas, Rabu, 26 November 2008 | 09:17 WIB
JENEWA, RABU — Emisi gas rumah kaca di atmosfer terus mengalami kenaikan pada 2007, dengan konsentrasi karbon dioksida mencapai rekor level tertinggi, demikian pernyataan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Selasa (Rabu, WIB).

Jumlah terakhir yang dipublikasikan dalam Greenhous Gas Bulletin 2007, WMO memperlihatkan bahwa emisi gas karbon dioksida mencapai 383,1 ppm, atau naik sebesar 0.5 persen dari 2006.

Konsentrasi nitrogen oksida juga mencapai rekor tertingginya pada 2007, naik 0,25 persen daripada tahun sebelumnya, sedangkan gas metana naik 0,34 persen, melampaui nilai tertinggi yang sejauh ini tercatat pada 2003.

Dengan menggunakan indeks tahunan gas rumah kaca NOAA, dampak pemanasan total semua gas rumah kaca yang berumur panjang dihitung telah naik sebesar 1,06 persen daripada tahun sebelumnya atau naik sebesar 24,2 persen sejak 1990, kata WMO dalam pernyataannya.


Kegiatan manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pertanian, adalah sumber utama emisi gas tersebut, yang diakui banyak ilmuwan sebagai pemicu terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global.

Setelah uap air, empat gas utama rumah kaca di atmosfer adalah karbon dioksida, gas metan, nitrogen oksida dan chlorofluorocarbon (CFC). Menurut data WMO, tingkat CFC terus turun secara perlahan yang dapat dipandang sebagai pesan baik. Hal itu menurut WMO memperlihatkan keberhasilan yang terus dicapai oleh Protokol Montreal untuk mengurangi emisi gas perusak lapisan ozon.

AC
Sumber : Xinhua
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/26/09170415/emisi.gas.rumah.kaca.capai.rekor.tertinggi#


Rumput Laut Jadi Bahan "Biofuel"

 
Pertanian rumput laut di perairan Nusa Lembongan. Hasil panen rumput laut dari daerah itu diekspor ke sejumlah negara dan menjadi andalan penghasilan penduduk setempat.
 
Kompas, Rabu, 29 Oktober 2008 | 08:44 WIB
JAKARTA, RABU — Riset rumput laut yang dilakukan dari waktu ke waktu kian lebar menguak kegunaan tumbuhan air ini. Selama ini rumput laut telah banyak digunakan sebagai bahan baku beragam jenis produk, seperti pangan, farmasi, dan kosmetik.
Belakangan ini mulai diketahui manfaat lain rumput laut, yaitu sebagai pereduksi emisi gas karbon dan bahan baku biofuel. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini telah berlangsung, rumput laut harus dikembangkan pemanfaatannya sebagai sumber alternatif energi.
Hal itu disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi saat memberi sambutan pada Indonesia Seaweed Forum I di Makassar Sulawesi Selatan, Selasa (28/10). Pertemuan itu diselenggarakan Indonesia Seeweed Society, Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia, Ikatan Fikologi Indonesia, dan Asosiasi Rumput Laut Indonesia.
Mikroalga sebagai biodiesel, menurut Freddy, lebih kompetitif dibandingkan dengan komoditas lain. Sebagai perbandingan, mikroalga (30 persen minyak) seluas 1 hektar dapat menghasilkan biodiesel 58.700 liter per tahun, sedangkan jagung 172 liter per tahun, dan kelapa sawit 5.900 liter per tahun.
Selain itu, katanya, rumput laut juga bukan merupakan bahan konsumsi pokok harian dan budidayanya tidak memerlukan waktu yang lama.
Sebagai daerah yang memiliki kawasan pesisir yang luas, apalagi berada di daerah tropis, Indonesia berpotensi menjadi produsen terbesar rumput laut di dunia. Menurut Freddy, saat ini ada areal seluas 1,1 juta hektar lebih yang berpotensi untuk budidaya rumput laut, tetapi yang termanfaatkan hanya 20 persen.
Menanggapi harapan Freddy, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pihaknya akan menyediakan lahan yang memadai untuk budidaya rumput laut. Sulsel memiliki pesisir pantai sepanjang 2.000 kilometer dan hampir 1.000 jumlah pulaunya.
Revitalisasi perikanan
Karena memiliki beberapa keunggulan, Freddy menambahkan, rumput laut pun dapat menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan. Keunggulan itu antara lain peluang ekspornya masih terbuka luas, harganya relatif stabil, dan belum ada kuota perdagangan bagi rumput laut.
Keunggulan lainnya, teknologi pembudidayaannya sederhana sehingga mudah dikuasai petani, siklus budidayanya relatif singkat sehingga cepat memberikan penghasilan dan keuntungan, kebutuhan modal relatif kecil, dan pembudidayaan rumput laut tergolong usaha padat karya. Di sisi lain, rumput laut ramah lingkungan dan tidak ada produk sintetisnya.
Dalam program revitalisasi budidaya rumput laut tahun 2009 ditargetkan tercapai produksi 1,9 juta ton. Untuk itu, Freddy menekankan perlunya penerapan pola pengembangan kawasan budidaya, terutama untuk komoditas Euchema dan Gracilaria. Luas lahan yang diperlukan sampai 2009 adalah 25.000 hektar, yakni 10.000 hektar untuk Gracilaria dan 15.000 hektar untuk Euchema.
Untuk penyediaan bibit akan dikembangkan kebun bibit di sentra atau pusat pengembangan di Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera, Maluku, dan Papua. Selain itu, juga akan dilakukan pengaturan pola tanam dan penyediaan 150 unit mesin praproses untuk perbaikan mutu pascapanen. Dengan pengembangan ini, diperkirakan akan terserap 255.000 tenaga kerja.

Yuni Ikawati
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/29/08443245/rumput.laut.jadi.bahan.biofuel 

Menyuburkan Lahan Gambut dengan Mikroba

Pembuatan kanal di lahan proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah justru membuat kerusakan lahan gambut yang parah. Akibatnya, kebakaran hutan saat musim kemarau sering terjadi.
Jumat, 14 November 2008 | 22:05 WIB
JAKARTA, JUMAT - Pemanfaatan lahan di Indonesia sejak dulu telah salah arah. Lahan subur, terutama di Jawa, tak terbendung terus berubah fungsi ke nonpertanian. Sementara itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat memaksa pemanfaatan lahan kering dan marginal yang umumnya di luar Jawa. Di sinilah rekayasa teknologi berperan untuk mengubahnya menjadi lahan subur. Salah satu yang kini gencar disasari adalah lahan gambut.
Dalam ASEAN-China Workshop on the Development of Effective Microbial Consortium Poten in Peat Modification di Jakarta, Senin (10/11), tim peneliti mikroba dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), yang diketuai Gatyo Angkoso, melaporkan keberhasilan mereka menyuburkan lahan gambut dengan menambahkan limbah selulosa dari perkebunan kelapa sawit dan memasukkan secara bersamaan beberapa jenis isolat mikroba tertentu.

Perlakuan ini dapat mengurangi tingkat keasaman atau menaikkan pH lahan gambut dari rata-rata 3,5 menjadi 5,5, jelas Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Koesnandar, yang juga terlibat dalam riset tersebut, di Rasau dan Siantan, Kalimantan Barat. Selama ini lahan gambut secara alami memang tidak subur karena memiliki keasaman tinggi atau kebasaannya (pH) rendah, antara 2,8 dan 4,5. Sifat lain lahan gambut yang tidak menguntungkan adalah nilai kapasitas tukar kation dan kandungan organik yang tinggi.
Penyuburan lahan gambut dilakukan dengan memasukkan konsorsia atau beberapa kelompok mikroba. Dijelaskan Diana Nurani, peneliti, riset yang dilakukan sejak tahun 2006 berhasil diisolasi puluhan mikroba di dua daerah di Pontianak itu. Dari puluhan ditemukan empat kelompok mikroba yang memiliki kinerja yang baik dalam meningkatkan kebasaan lahan gambut.
Ditambahkan Koesnandar, mikroba itu ditemukan di lahan gambut, pada limbah kelapa sawit, dan kotoran sapi. Dari efeknya pada tanah gambut, konsorsia mikroba itu bersimbiosa mutualisme. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk meneliti peran dan karakteristik masing- masing mikroba.
Aplikasi empat kelompok mikroba pada tanah gambut selain dapat meningkatkan pH, juga terbukti memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan mineral. Keuntungan lainnya adalah mengganti cara konvensional, yaitu pembakaran yang biasa dilakukan petani di lahan gambut untuk meningkatkan pH tanah gambut.
Indonesia memiliki kawasan gambut keempat terluas di dunia, yakni 20,6 juta hektar. Peringkat pertama adalah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen). (YUN)


Sumber : Kompas Cetak

Hutan Rusak, Waduk Terkena Dampak

Waduk Prijetan di Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Kamis (7/8), tampak kering kerontang dan tanah di dasar waduk merekah. Waduk berkapasitas normal sekitar 9 juta meter kubik itu biasa digunakan untuk mengairi ribuan hektar sawah di sekitarnya. Saat ini, sejumlah petani memanfaatkan lahan di dalam waduk untuk ditanami palawija.


Minggu, 30 November 2008 | 15:54 WIB

Laporan wartawan Kompas Imam Prihadiyoko

CEPU, MINGGU - Menteri Kehutanan MS Kaban mengingatkan kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia memang memprihatinkan. Di Pulau Jawa, luas daratan dibanding hutan tinggal 19 persen saja.

"Padahal, idealnya luas minimal luas kawasan hutan itu 30 persen. Angka 19 persen ini, kalau tidak digenjot dengan usaha menanam, maka kekeringan dan kebanjiranlah yang didapat," ujarnya dihadapan massa pengajian Majelis Tafsir Al Quran di Cepu, Minggu (30/11).

"Kerusakan waduk, bukan hanya di Gajah Mungkur yang mengalami pendangkalan sebagai akibat menumpuknya lumpur. Bayangkan, waduk yang harusnya bertahan 100 tahun, sekarang sudah ada pendangkalan yang cukup parah," ujarnya.

Pendangkalan ini, menurut Kaban, juga disebabkan oleh area tangkapan airnya hilang. Hilangnya karena penjarahan, dan tidak ada penanaman kembali. "Itu sebabnya, saya sering mengajak berbagai pihak untuk menanam, dan terus menanam agar hutan kita banyak lagi," ujarnya.

Imam Prihadiyoko